Apakah keputusan untuk berperang dapat dipertahankan dan dijustifikasi secara moral? Pertanyaan tersebut tepat untuk dianalisa khususnya dalam konflik Rusia dan Ukraina yang telah menjadi perhatian seluruh dunia hampir sebulan ini. Puncak konflik dimulai pada 16 Februari 2022 dimana Parlemen Rusia mengadopsi sebuah resolusi yang meminta Presiden Vladimir Putin untuk mengakui sebagai negara merdeka dua wilayah di timur Ukraina yaitu Donetsk dan Luhansk. Keduanya dikuasai oleh kelompok bersenjata yang didukung Rusia. Pada 21 Februari, Presiden Putin menandatangani dua dekrit yang mengakui kemerdekaan kedua wilayah tersebut dan menyerahkannya ke parlemen untuk diratifikasi. Setelah itu, ia mengeluarkan perintah kepada angkatan bersenjata Rusia, yang selama berbulan-bulan telah berkumpul di perbatasan dengan Ukraina, untuk melakukan operasi penjaga perdamaian (yang disebutkan untuk menghormati Perjanjian Minsk setelah aneksasi Crimea) di Donetsk dan Luhansk yang diproklamirkan sendiri. Pada 22 Februari, Dewan Federasi, majelis tinggi parlemen Rusia, menyetujui permintaan Putin untuk mengerahkan angkatan bersenjata. Rusia menyerang pada 24 Februari, yang dimulai dengan ledakan di sejumlah kota di Ukraina, termasuk Kyiv, Odessa, Kharkiv dan Mariupol. Hingga saat ini ketegangan masih berlangsung.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam menyikapi dan menilai keabsahan dan legitimasi sebuah intervensi (use of force) adalah Just War Theory, yang menawarkan kerangka untuk menjawab permasalahan-permasalahan moral berkaitan dengan penggunaan kekuatan bersenjata dalam hubungan internasional. Just War Theory merupakan sebutan bagi berbagai literatur yang berbicara mengenai moralitas perang dan menawarkan kriteria yang dipakai dalam menentukan apakah keputusan untuk berperang dan cara yang digunakan dalam pelaksanaannya dapat dinilai adil dan benar. Kriteria dibagi menjadi dua kelompok yaitu jus ad bellum dan jus in bello. Jus ad bellum berkaitan dengan kapan keputusan untuk berperang dianggap benar (the justice of resort to war) sementara jus in bello terkait bagaimana sebuah perang harus dilakukan manakala telah mulai (the justice of the conduct of war). Tulisan ini fokus pada kriteria pertama dalam konflik bersenjata internasional yang terjadi antara Rusia dan Ukraina saat ini.
Setidaknya terhadap 6 kriteria jus ad bellum yaitu dinyatakan oleh otoritas yang beanr (right authority), ada alasan yang adil (just cause), merupakan upaya terakhir (situation of last resort), memiliki niat yang benar (right intention), cara yang digunakan bersifat proporsional (principle of proportionality) dan memiliki peluang keberhasilan yang masuk akal (reasonable prospect of success). Berikut analisa kriteria tersebut dalam kasus Rusia.
Pertama, otoritas yang benar. Kriteria ini menegaskan bahwa hanya otoritas yang sah yang memiliki hak untuk menyatakan perang. Kriteria ini melahirkan banyak perdebatan khususnya berkaitan dengan pertanyaan siapakah yang berwenang untuk menyatakan sebuah perang itu benar (legal) atau dapat dibenarkan (legitimate). Apakah dari negara yang menyatakan perang atau dari komunitas internasional. Dalam hukum internasional, khususnya Piagam PBB, setiap negara dilarang untuk menggunakan kekuatan bersenjata terhadap negara lain. Pasal 2 (4) menyatakan bahwa semua anggota harus menahan diri dalam hubungan internasional mereka dari ancaman atau penggunaan kekuatan yang bertentangan dengan integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara, atau dengan cara lain apa pun tidak sesuai dengan tujuan PBB. Pasal tersebut dikenal dengan prinsip non-intervention atau prohibition of use of force. Larangan tersebut umumnya dianggap sebagai bagian dari norma yang memiliki status sebagai jus cogens.
Meskipun demikian, sesungguhkan masih terdapat ruang untuk melakukan intervensi yaitu dengan persetujuan DK PBB. Berdasarkan Bab 7 khususnya pasal 39, DK PBB memiliki kewewenangan untuk mengizinkan penggunaan kekuatan di bawah Piagam PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. DK PBB terlebih dahulu akan menentukan apakah ada ancaman terhadap perdamaian di sebuah wilayah. Dalam situasi di Ukraina, sesungguhnya opsi ini tidak realistis karena Rusia sendiri memiliki kursi tetap di DK PBB dengan memegang hak veto atas keputusan apa pun. Dalam hal ini, Rusia menyatakan bahwa dasar hukum “operasi penjaga perdamaian” telah dikomunikasikan pada 24 Februari 2022 kepada Sekretaris Jenderal PBB dan DK PBB oleh Wakil Tetap Federasi Rusia untuk PBB dalam bentuk pemberitahuan berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB (diedarkan sebagai dokumen S/2022/154 Dewan Keamanan). Pada gilirannya, DK memilih suara 11-1 untuk mengutuk tindakan Rusia, dengan China, India dan Uni Emirat Arab abstain. Veto Rusia tersebut mematikan resolusi yang diusulkan. Namun tetap saja hal tersebut menandakan bahwa DK PBB belum mengizinkan Rusia untuk menggunakan kekuatan terhadap Ukraina.
Kedua, penyebab atau ada alasan yang adil dan benar. Dalam Piagam PBB, pengunaan kekuatan bersenjata hanya dapat dibenarkan dalam dua kondisi yaitu jika diizinkan oleh DK PBB (pasal 42), atau ketika suatu negara bertindak dalam rangka membela diri atau self defence (pasal 51). Seperti penjelasan dibagian sebelumnya, kondisi pertama telah gagal. Mengenai kondisi kedua, hak membela diri hanya muncul setelah serangan bersenjata telah diluncurkan. Dengan standar ini, klaim Rusia gagal, karena tidak ada bukti bahwa operasi militer NATO yang direncanakan telah dimulai pada saat pasukan Rusia memulai serangan mereka. Memang ada pendekatan pertahanan diri yang lebih tradisional yang memungkinkan dilakukannya tindakan defensif secara paksa dalam menghadapi serangan bersenjata yang sifatnya “segera” yaitu anticipatory self defence. Dalam hal ini, musuh harus berada di gerbang perbatasan dalam arti yang nyata. “Indikasi dan peringatan” harus telah ada. Oleh karena itu, harus ada serangan bersenjata yang telah dimulai atau akan segera terjadi, dan kekuatan yang digunakan untuk membela diri tersebut harus menjadi satu-satunya cara untuk mencegah atau menolaknya. Tetapi sekali lagi, belum terlihat ada indikasi bahwa NATO telah memutuskan untuk menyerang Rusia dalam waktu singkat dan segera. Rusia tidak mengalami serangan bersenjata dari Ukraina ataupun negara mana sehingga alasan hak bela diri sebagaimana pasal 51 tidak mendasar. Sementara argumentasi collective self- defence juga gugur karena kedua wilayah (Donetsk dan Luhansk) tidak memenuhi kualifikasi negara layaknya subjek hukum internasional pada umumnya. Baik kehadiran NATO di Ukraina maupun pembenaran lain yang ditawarkan oleh Rusia tidak memenuhi kriteria alasan yang sah.
Selain itu, hak bela diri Rusia dikaitkan dengan pasal 1 Piagam PBB yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination) rakyat Donetsk dan Luhansk. Rusia secara efektif telah melakukan intervensi dan melanggar kedaulatan Ukraina sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Piagam PBB. Oleh karena Donetsk dan Luhansk adalah bagian dari Ukraina, pengakuan semacam itu oleh negara lain merupakan intervensi atau campur tangan dalam masalah internal suatu Negara, yang bertentangan langsung dengan prinsip kedaulatan (sovereignty) yang sama bagi semua negara.
Masih dalam kriteria ini, bahwa menyelamatkan warga negara yang terjebak atau dalam bahaya di negara lain sesungguhnya dapat diakui sebagai bentuk pembelaan diri. Tapi intervensi ini sangat terbatas untuk mengevakuasi warga, bukan menggulingkan sebuah pemerintah. Tidak ada yang telah dilakukan Ukraina hingga saat ini yang dapat ditafsirkan sebagai serangan bersenjata terhadap Rusia dan membenarkan klaim Rusia untuk membela diri.
Memang, ada satu lagi pengecualian penggunaan kekuatan bersenjata yang tengah berkembang (illegal but legitimate) dan lahir dari sebuah doktrin. Pengecualian dengan kekerasan tersebut memang tidak dilakukan berdasarkan Piagam PBB tetapi atas dasar pertimbangan moral dan praktik negara yang berkembang. Praktek ini dikenal dengan istilah intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention), yang konsepnya telah berkembang menjadi tanggung jawab untuk melindungi (Responsibility to Protect). Dalam kondisi tersebut, harus dapat dibuktikan bahwa ada kejahatan yang sangat serius yang akan atau telah terjadi, seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, pembersihan etnis, dan diskriminasi ras. Dalam hal ini, Rusia tidak pernah menggunakan istilah humanitarian intervention, melainkan hak bela diri. Namun agar dianggap sah, intervensi tersebut tetap memerlukan ijin dari DK PBB.
Ketiga, niat yang benar. Dalam perang, tidak hanya penyebabnya harus adil, tetapi ada dorongan kuat bahwa suatu negara yang melakukan perang harus melakukannya untuk tujuan keadilan dan bukan untuk alasan atau kepentingan pribadi. Selain itu, tujuannya bukan untuk mengambil wilayah territorial ataupun mempengaruhi apalagi mempertanyakan kemerdekaan politik negara lain melainkan harus bertujuan mencegah dan menghentikan pelanggaran HAM berat. Rusia mengklaim niatnya adalah untuk mencegah genosida di Ukraina. Namun argumentasi tersebut tidak terbukti. Bahkan, Mahkamah internasional (ICJ) telah memerintahkan Rusia untuk menghentikan invasi ke Ukraina. Dalam hal ini, Mahkamah menyatakan tidak memiliki bukti yang mendukung tuduhan Rusia tentang genosida di wilayah Ukraina. Bahkan, Rusia memperlihatkan usaha mengambil wilayah territorial serta mempengaruhi kemerdekaan politik Ukriana dengan memproklamirkan kemerdekaan Donetsk dan Luhansk secara sepihak.
Keempat, upaya terakhir. Kriteria ini berhubungan erat dengan menghadirkan alasan yang adil bahwa semua bentuk solusi lain harus telah dicoba sebelum adanya deklarasi perang. Setiap pilihan dengan cara damai (non-militer) harus telah dilakukan terlebih dahulu. Artinya negara dapat menggunakan perang sebagai alternatif penyelesaian sengketa hanya jika itu adalah alternatif terakhir yang dianggap layak. Hal ini memang menjadi salah satu persoalan utama dimana menurut Rusia, selama 30 tahun mereka dengan gigih dan sabar berusaha mencapai kesepakatan dengan negara-negara NATO tentang prinsip-prinsip keamanan yang setara dan tak terpisahkan di Eropa. Bahkan, pada bulan Desember 2021, usaha untuk memastikan keamanan di Eropa dan tentang non-ekspansi NATO masih coba dilakukan. Hanya saja, posisi yang tidak berubah dari Amerika dan sekutu tersebut tidak dapat menjustifikasi perang. Berbagai upaya damai, baik yang sifatnya non-litigasi maupun litigasi hendaknya terus menjadi pilihan.
Di level internasional, umumnya sebelum terjadi perang atau intervensi, DK PBB mengeluarkan berbagai resolusi, berdasarkan Bab VII Piagam PBB untuk menanggapi kekerasan yang terus meningkat di suatu wilayah. Termasuk menyatakan pemberlakuan embargo militer, mengakui bahwa situasinya merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional dan memaksa untuk melakukan genjatan senjata, ataupun menekankan bahwa perlu upaya pencegahan terhadap terjadinya kejahatan kemanusiaan di wilayah tersebut. Dalam hal ini tidak ada resolusi yang dikeluarkan sebelum invasi. Dan pasca invasi, terdapat sebuah rancangan resolusi yang menyesalkan invasi yang terjadi. Seruan penarikan pasukan Rusia diveto pada hari berikutnya, yang mendorong DK PBB untuk menyetujui sesi khusus darurat tentang masalah Ukraina melalui Resolusi DK PBB 2623.
Kelima, prospek yang layak dimana sebelum perang, negara harus yakin bahwa penggunaan kekuataan bersenjata akan menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada kerugian. Skala, jangka waktu dan intensitas intervensi yang direncanakan harus sebanding dengan perlindungan kemanusiaan. Prinsip keberhasilan yang wajar adalah sebuah konsekuensi karena biaya dan manfaat kampanye harus diperhitungkan. Dengan kata lain, harus ada kemungkinan logis bahwa intervensinya akan berhasil mencegah atau menghilangkan pelanggaran HAM. Sehingga, harus besar kemungkinan bahwa keadaan akan jauh lebih baik dan bukan memperparah keadaan.
Keenam, prinsip proporsionalitas. Kriteria terakhir jus ad bellum ini adalah bahwa tujuan yang diinginkan harus sebanding dengan sarana yang digunakan. Asas ini memang agaknya tumpang tindih dengan pedoman moral tentang bagaimana perang harus dilancarkan, yaitu asas jus in bello. Berkenaan dengan alasan yang adil, kebijakan perang membutuhkan tujuan, dan tujuan itu harus proporsional dengan prinsip-prinsip lain dari tujuan yang adil.
Prinsip proporsionalitas dan prospek kesuksesan yang layak dan masuk akal tersebut merupakan dua syarat yang tidak mudah untuk diukur. Rusia mengklaim bahwa tindakannya sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Genewa 1949, meskipun ada yang berargumen bahwa Rusia telah menghancurkan pusat stasiun radio dan televisi dan fasilitas lainnya. Bahkan, pakar medis dan pembela HAM mengutuk dengan keras laporan pemboman Rusia terhadap bangsal bersalin rumah sakit dan klinik anak-anak karena jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum humaniter internasional. Persyaratan prospek untuk sukses sepenuhnya tergantung kemauan politik dari negara yang akan mengintervensi. Seperti dalam kasus Rwanda dan Srebrenica, dimana DK PBB dianggap gagal untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, karena tidak ada kemauan politik.
Berdasarkan fakta dan analisa diatas, agaknya tidak sulit untuk mengatakan bahwa penyerangan Rusia di Ukraina tidak memenuhi kriteria jus ad bellum yang dapat menjustifikasi alasan Rusia berperang. Baik alasan hak bela diri maupun alasan mendapatkan otorisasi dari DK PBB yang diatur dalam hukum internasional tidak mampu dibuktikan. Memang, terdapat sejumlah pelanggaran hukum internasional serupa sebelumnya yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutu. Pelanggaran tersebut agaknya membuat Amerika Serikat dan sekutu lebih sulit untuk mengkritik Rusia dengan cara persuasif, karena bagaimanapun juga, merekapun pernah bertindak sepihak dan melanggar prinsip-prinsip dalam Piagam PBB seperti non-intervention. Duniapun tidak akan lupa terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut. Namun, dalam melihat semua konflik yang pernah terjadi, termasuk yang terjadi saat ini antara Rusia dan Ukraina, substansi moral dalam perang tetap perlu mendapatkan perhatian. Artinya, kita tidak boleh lupa terhadap semua pelanggaran hukum internasional yang pernah dilakukan negara-negara Barat, namun Rusia tetap tidak dapat membenarkan pelanggaran hukum mereka sendiri. Ibaratnya, jika negara A menggunakan kekuatan bersenjata dan melanggar kedaulatan negara B dan lolos tanpa hukuman, hal tersebut tidak membenarkan negara C untuk melakukan hal yang sama terhadap negara D. Sekali lagi, jika negara-negara anggota NATO pernah melanggar Pasal 2(4) Piagam PBB seperti ketika mereka mengebom Serbia pada tahun 1999, hal tersebut tidak membenarkan pemboman Rusia di Ukraina saat ini. Pelanggaran hukum internasional masa lalu dan masa kini tentu akan kembali digunakan sebagai preseden untuk mempersenjatai argumentasi terhadap pelanggaran yang dapat terjadi di masa mendatang.
Anak Agung Ayu Nanda Saraswati
Dosen Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya