Quantcast
Channel: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1337

Perlindungan Hak Beragama dalam Pemberantasan Terorisme: Telaah atas Penegakan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

$
0
0

Konstitusi Indonesia secara tegas menyatakan bahwa salah satu tujuan utama dari penyelenggaraan pemerintahan negara adalah untuk “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”. Ketentuan tersebut telah menjadi landasan konstitusional bagi kebijakan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Munculnya implementasi dari perlindungan konstitusi tersebut dalam rupa peraturan perundang-undangan terkait pemberantasan tindak pidana terorisme tidak lepas dari perkembangan terorisme itu sendiri.

Kasus terorisme merupakan suatu fenomena yang baru dalam sistem peradilan hukum pidana di Indonesia. Meskipun terorisme, teror bom khususnya, terhadap ruang publik sudah terjadi sejak lama yaitu semenjak pengeboman Cikini terhadap Presiden Soekarno pada tahun 1962 hingga peledakan pos polisi di Poso tahun 2012, namun dalam sistem peradilan pidana baru mengenal vonis pengadilan kasus terorisme hingga eksekusi pemidanaan di Lapas yaitu pada tahun 2002 untuk kasus pengeboman Plaza Atrium Senen, Jakarta. Jadi sebagian besar kasus terorisme antara tahun 1962 sampai tahun 2002 banyak yang tidak terungkap sehingga tidak berhasil di bawa ke persidangan di pengadilan. Secara hukum pidana materiil, pada kasus pengeboman Plaza Atrium Senen Jakarta jaksa penuntut umum belum menggunakan delik dan terminologi terorisme dalam dakwaannya melainkan menerapkan Pasal pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah “Ordonnantierijdelijke Bijzondere Strafbepalingen” (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 juncto Pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Istilah terorisme baru dikenal secara eksplisit dalam hukum pidana materiil sebagai pidana khusus sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada tanggal 18 Oktober 2002 beserta Perpu pelaksananya khusus untuk peristiwa bom Bali pertama yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2003. Kedua Perpu tersebut kemudian dikuatkan menjadi undang-undang pada tanggal 4 April 2003 dengan menerapkan asas retroaktif yaitu “Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri.

Penerapan asas retroaktif tersebut merupakan peristiwa yang sangat luar biasa dalam hukum pidana yang sangat kuat memegang asas legalitas. Pemerintah mendasarkan penerapan asas retroaktif dalam tidak pidana terorisme pada argumen-argumen sebagai berikut:

  1. Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memungkinkan penggunaan peraturan perundang-undangan untuk membatasi penikmatan hak-hak tertentu termasuk hak atas asas legalitas dalam menghadapi perkara pidana;
  2. Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang menuntut adanya pengaturan yang sangat khusus termasuk penyimpangan terhadap asas legalitas;
  3. Asas superioritas keadilan berdasarkan pertimbangan bahwa perlu mengesampingkan asas legalitas atau non-retroaktif dalam kasus pidana demi memenuhi rasa keadilan masyarakat yang telah terenggut dan/atau terancam oleh tindakan terorisme;
  4. Dalam hukum pidana internasional, asas legalitas atau non-retroaktif bukan lagi menjadi asas universal melainkan kasuistis karena dalam prakteknya telah disimpangi misalkan dalam kasus pasca Perang Dunia II yaiut Pengadilan Nurenmberg tahun 1946 dan Pengadilan Tokyo 1948 serta Pengadilan Ad Hoc Kasus Rwanda dan Bekas Yugoslavia.

Namun demikian, akhirnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) melalui putusannya Nomor 013/PUU-I/2003 menegaskan bahwa penerapan asas retroaktif dalam Pasal 46 Undang-Undang Terorisme adalah inkonstitusional sehingga tidak mengikat secara hukum sehingga tidak bisa diterapkan dalam persidangan kasus bom bali pertama maupun kasus-kasus lain sesudahnya terkait terorisme. Perlu ditegaskan bahwa putusan MKRI tersebut tidaklah menghilangkan substansi pidana materiil Undang-Undang Terorisme melainkan hanya pada aspek penegasan keberlakuan asas legalitas dalam kasus-kasus terorisme dan hanya mencabut eksistensi dan keberlakuan asas retroaktifnya. Dengan uji materiil tersebut setidaknya telah mengintrodusir dalam ranah publik perdebatan permasalahan terorisme terutama dalam aspek hukumnya sehingga menjadi perhatian semua pihak.

Menurut kepolisian, pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme dalam UU No. 15/2003 masih dianggap kurang memadai dalam hal tidak adanya pengaturan terkait: 1) pencegahan terorisme; 2) rehabilitasi teroris pasca pemidanaan; 3) amaliyah oleh WNI terkait jaringan terorisme global; dan 4) perlindungan HAM. Setelah momentum Bom Thamrin 2016,  wacana revisi undang-undang terorisme semakin menguat meskipun masih terjadi perdebatan menyangkut: 1) definisi terorisme; 2) pelibatan TNI; 3) penyadapan; 4) penebaran kebencian; 5) praktik “Guantanamo”; 6) pencabutan kewarganegaraan; dan 7) perpanjangan masa penahanan. Revisi terhadap UU No.15/2003 kemudian dilakukan melalui pengesahan UU No. 5/2018 pada 21 Juni 2018 yang setidaknya memuat ketentuan-ketentuan baru yang penting dalam pengaturan pemberantasan terorisme, yaitu: 1) definisi terorisme; 2) organisasi teroris; 3) penghasutan; 4) pelibatan anak; 5) waktu penahanan; 6) penangkapan; 7) penyadapan; 8) perlindungan; 9) hak korban; 10) pencegahan; 11) BNPT; 12) pelibatan TNI; dan 13) pelibatan DPR. Dibandingkan dengan harapan kepolisian tentang materi muatan yang perlu diatur dalam revisi maka substansi dari UU No.5/2018 sudah lebih dari cukup. Namun demikian, undang-undang baru tersebut tidak lepas dari beberapa permasalahan pengaturan yang setidak-tidaknya menyangkut aspek: 1) definisi terorisme dalam Pasal 1 yang dapat disalahgunakan untuk menekan oposisi atau kritik terhadap penguasa; 2) lama  penahanan tersangka dan terdakwa yang diatur Pasal 25 hingga maksimal 290 hari dapat memberikan kesempatan terjadinya tindak kekerasan (penyiksaan dsb.) atau penyalahgunaan wewenang lainnya; 3) penentuan kelompok masyarakat rentan sebagai objek kontra radikalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43C ayat (1) yang dapat menyebabkan terjadinya diskriminasi, penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan; dan 4) frasa paham radikal terorisme yang ada dalam Pasal 43C mempunyai kekaburan makna yang dapat memicu terjadinya konflik sosial maupun penyalahgunaan wewenang untuk menekan kelompok agama atau masyarakat tertentu.

Terorisme sebagai isu keamanan publik (public security) yang multidimensi (perbankan, transportasi, IT, persenjataan, pemerintahan, hubungan internasional, dll.) saat ini, dalam konteks Indonesia, sering berhimpitan atau dihimpitkan dengan isu-isu keagamaan meskipun secara historis dapat dipicu oleh berbagai macam motif di luar agama (perebutan kekuasaan politik, perlawanan kolonialisme, kesenjangan ekonomi, ideologi, dll.). Penguatan desakan pengesahan revisi UU No.15/2003  pasca bom Surabaya 2018 setidaknya membuktikan bahwa isu terkait agama masih mendominasi dinamisasi penanganan terorisme di Indonesia. Dalam situasi ini maka kelompok agama yang mempunyai relasi kuasa sosial dan politik yang lemah akan menjadi kelompok yang rentan terhadap pelanggaran hak beragamanya. Padahal secara faktual Indonesia merupakan negara yang rakyatnya menganut berbagai macam agama atau kepercayaan dengan ragam dan komposisi kuantitatifnya meniscayakan munculnya kelompok minoritas.

Fitur sosiologis dan antropologis masyarakat Indonesia yang plural pada satu sisi akan terancam oleh adanya setiap gerakan yang berorientasi pada penyeragaman masyarakat termasuk sistem keyakinannya (agama atau kepercayaan). Kelompok teroris sering dinarasikan sebagai kelompok yang bermotif untuk mengubah dasar negara Pancasila dan menegasikan adanya keragaman dalam keberagamaan. Terkait terorisme sebagai sebuah ide, Sarlito Wirawan Sarwono dalam Terorisme di Indonesia (2012) mengutip temuan penelitian oleh Roy J. Eidelson dan Judy I. Eidelson yang menyimpulkan adanya 5 (lima) ide-ide berbahaya dimana pada tingkat dan situasi tertentu dapat menjadi penyebab munculnya kekerasan atau intoleransi antarkelompok yang juga bisa menjadi salah satu penyebab atau dasar terjadinya terorisme. Lima ide-ide berbahaya tersebut mencakup:

  • Superioritas (superiority)

Perasaan superior dapat bersumber dari beberapa hal dan salah satunya adalah adanya keyakinan bahwa suatu kelompok (agama, ras, bangsa, dll)  merupakan kelompok pilihan Tuhan di muka bumi ini dan memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan dengan kelompok yang lainnya. Kelompok ini memandang kelompok yang lain sebagai inferior, kafir yang halal darahnya, perwujudan setan di dunia nyata sehingga patut dikasihani, diperintah, dimusuhi atau bahkan diperangi. Beberapa kelompok teroris sering sekali menggunakan slogal-slogan yang mencerminkan bahwa mereka adalah kelompok yang mempunyai otoritas untuk menegakkan hukum tertinggi di muka bumi dan bagi yang tidak menerima tentu mempunyai konsekuensi untuk dimusuhi dan diperangi. Perasaan dan tindakan permusuhan tersebut bagi mereka merupakan bentuk dari ibadah atau ketaatan tertinggi dan merupakan kemuliaan di hadapan Tuhan ataupun pimpinan mereka bagi kelompok yang bukan berbasis pada ideologi ketuhanan.

  • Ketidakadilan (injustice)

Perasaan ketidakadilan juga dapat menjadi pemicu suatu bentuk perlawanan yang dalam tingkatan tertentu bisa berupa tindakan fisik seperti demonstrasi, pemboikotan, penyerangan, dan bahkan kegiatan terorisme. Ketidakadilan bagi kelompok yang berbasis pada ikatan agama tidak dibatasi oleh batas-batas kewarganegaraan melainkan hanya diikat oleh kesamaan keyakinan agama sehingga sifatnya global. Perasaan ketidakadilan suatu kelompok di Indonesia bisa muncul karena tindakan yang tidak adil di Afganistan. Demikian juga ketidakadilan umat di Indonesia bisa menggiring aksi teror oleh kelompok yang berasal dari Malaysia, dan seterusnya.

  • Kerentanan (vulnerability)

Situasi yang membuat suatu kelompok mengalami kecemasan akan masa depan mereka karena suatu situasi yang melemahkan hidup mereka akan memunculkan sifat atau perasaan perlawananan sebagai

bentuk pertahanan diri (survival) sehingga menjadi legitimasi untuk mengadakan permusuhan, perang maupun terorisme.

  • Ketidakpercayaan (distrust)

Ketidakpercayaan antara suatu kelompok dengan kelompok lain dan dalam hal ini bisa berupa negara atau pemerintah yang menguasai mereka dapat berpotensi menjadi pemicu konflik sosial. Kelompok teroris selalu tidak percaya dengan kebijakan pemerintah atau negara yang dianggap pemerintah tidak sah berdasarkan keyakinan mereka dan sebaliknya pemerintah atau negara selalu represif terhadap kelompok yang dianggap teroris karena selalu dianggap mengancam kedaulatan dan keamanan negara.

  • Ketidakberdayaan (helplessness)

Kelompok yang dirinya merasa tidak berdaya dapat dengan mudah membangun solidaritas internal mereka dan membangkitkan semangat perjuangan dalam meraih kesetaraan atau bahkan superioritas. Revolusi juga bisa dipicu oleh ketidakberdayaan akibat imperialisme atau penjajahan sehingga terjadi solidaritas perlawanan bersama. Dalam sisi yang positif suatu bangsa atau negara bisa menggunakan perasaan ketidakberdayaan untuk melawan penjajahan. Tetapi pada sisi yang ekstrim, perasaan ketidakberdayaan justru bisa disalahgunakan untuk membakar semangat intoleransi, permusuhan, dan tindakan terorisme atas alasan ketidakadilan.

Kelima ide tersebut memang mempunyai kesamaan dengan alasan-alasan yang digunakan oleh narapidana terorisme saat mereka melakukan tindakan terorisme semisal seperti alasan superioritas ajaran agama mereka sehingga menjadi satu-satunya agama yang harus memerintah di muka bumi. Selain itu mereka juga merasa menjadi korban dari suatu ketidakadilan baik di tingkat nasional maupun global sehingga berhak untuk mempertahankan diri dengan cara-cara yang menurut mereka sesuai dengan ajaran agama. Demikian juga dengan aspek ketidakpercayaan mereka yang sangat tinggi terhadap sistem dan praktek pemerintahan atau ketatanegaraan sehingga perlu adanya perubahan sistem yang berdasarkan nilai-nilai yang mereka anut. Tentang perasaan ketidakberdayaan dalam beberapa hal tidak terungkap secara langsung namun dari pernyataan mereka secara tersirat dapat disimpulkan bahwa mereka merasa tidak berdaya terhadap kekuatan negara yang didukung oleh militer dan polisi serta sekutu internasionalnya sehingga satu-satunya mekanisme perlawanan fisik yang relevan adalah penyerangan secara diam-diam seperti aksi peledakan bom.[1] Di luar perspektif teologis, tentunya aspek psikologis tersebut dapat dijadikan tolok ukur sikap radikalisme yang dapat membawa ke arah tindakan terorisme atau setidak-tidaknya mendukungnya tanpa ada suatu sikap menyalahkannya (passive supporter).

Pemberantasan tindak pidana terorisme meskipun mempunyai sasaran objek dan batasan yang dapat dipetakan seperti temuan kelima ide di atas tetapi perlu memperhatikan hak beragama sebagai non-derogable right (hak yang eksistensinya tidak dapat dikurangi dalam situasi apa pun)[2]. Secara ringkas, sebagai konsekuensi atas eksistensi dan kepesertaan Indonesia dalam tata aturan dan pergaulan HAM internasional maka muncul ikatan untuk selalu patuh terhadap norma inti hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, yaitu[3]:

  • Kebebasan internal (internal freedom)

      Setiap orang memiliki hak atas kebebasan untuk berfikir, berkeyakinan dan beragama; termasuk dalam hak ini adalah untuk memiliki, memeluk, memelihara atau mengubah agama atau keyakinan.

  • Kebebasan eksternal (external freedom)

      Setiap orang memiliki kebebasan baik secara individu maupun dalam masyarakat bersama yang lainnya, baik secara privat maupun publik, untuk memanifestasikan nilai-nilai agama atau kepercayaannya dalam bentuk pengajaran/pendidikan, praktek keagamaan/kepercayaan, ritual peribadatan, dan bentuk-bentuk ketaqwaan lainnya.

  • Nirpaksaan (non-coercion)

      Tidak seorang pun diperbolehkan untuk dijadikan objek paksaan yang akan merusak atau memperburuk kebebasan beragama atau berkeyakinan berdasarkan pilihannya sendiri.

  • Nondiskriminasi (non-discrimination)

      Negara berkewajiban untuk menghormati dan memastikan pada setiap individu dalam wilayah teritorial dan jurisdiksinya akan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa pembedaan berdasarkan alasan apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau keyakinan, aliran politik, kebangsaan, harta kekayaan, keturunan atau status-status lainnya.

  • Hak orang tua/wali

Negara wajib untuk menghormati kemerdekaan orang tua/wali dalam memastikan pendidikan moral dan agama bagi anak-anak mereka sesuai dengan agama/keyakinannya, serta negara menyediakan perlindungan atas hak kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi setiap anak sesuai dengan kapasitas mereka sebagai anak.

  • Kebebasan berlembaga/berkelompok dan status hukum (corporate freedom and legal status)

      Komunitas keagamaan pada kediriannya memiliki hak untuk secara otonom mengurus diri mereka sendiri termasuk untuk memiliki posisi dan hak-hak secara kelembagaan untuk menuntut hak dan kepentingan mereka sebagai sebuah komunitas. Mereka juga berhak untuk mendapatkan kemanfaatan berupa status sebagai entitas hukum (subjek hukum) sebagai bentuk manifestasi hak atas kebebasan beragama atau keyakinan mereka baik secara individu maupun dalam suatu komunitas bersama dengan yang lainnya.

  • Pembatasan atas larangan yang diperbolehkan terhadap kebebasan eksternal (limits of permissible restrictions on external freedom)

      Kebebasan seseorang dalam memanifestasikan agama atau kepercayaannya hanya boleh menjadi objek pembatasan jika dengan alasan sebagai berikut:

(a)    diatur oleh hukum; dan

(b)    penerapannya oleh negara bertujuan untuk melindungi (i) keselamatan publik, (ii) ketertiban umum, (iii) kesehatan, (iv) moral , atau (v) hak dasar orang lain; dan (c) bernilai penting – yang proporsional dan tidak eksesif – guna tercapainya tujuan negara atas dasar mana pembatasan diterapkan.

  • Nonderogasibilitas

Negara dilarang melakukan derogasi terhadap hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan meskipun dalam situasi kedaruratan (public emergency).

Pemberantasan tindak pidana terorisme mempunyai dasar justifikasi dan legitimasi yang kuat jika merupakan perwujudan dari perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak-hak konstitusional warga negara. Terorisme sebagai tindakan kekerasan yang melawan hukum serta mengintimidasi masyarakat dan negara demi mencapai tujuan ideologi atau politik tentu sudah sewajarnya untuk dicegah dan ditanggulangi dengan cara-cara yang khusus (terrorism as an extraordinary crime). Kekhususan karakter dari terorisme ini pada akhirnya juga membawa konsekuensi munculnya kewenangan-kewenangan yang bersifat khusus juga yang dilekatkan pada aparatur negara. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan dasar pelaksanaan kewenangan tersebut agar sejauh mungkin tidak melanggar HAM dan hak-hak konstitusional setiap warga negara yang terkait dengan suatu aktivitas terorisme (due process of law). Prinsip-prinsip dan norma-norma HAM yang bersifat universal atau internasional maupun yang sudah diadopsi dalam sistem hukum nasional dapat menutup kelemahan-kelemahan yang ada dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan berfungsi mengawal supaya pelaksanaannya terorisme tetap konsisten pada tujuan awalnya yaitu “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…” dan tetap komitmen dengan prinsip martabat kemanusiaan.

 

Oleh Muktiono

Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya


Viewing all articles
Browse latest Browse all 1337

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>