MALANG (tandaseru) – Universitas Brawijaya Malang, akan mengukuhkan gelar Profesor pada dua guru besarnya, secara daring, Rabu (25/11).
Dua guru besar tersebut adalah Dr. Eng. Didik Rahadi Santoso, M.Si, dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Dr. Moh Fadli, SH, MH, dosen Fakultas Hukum.
Ada fakta menarik pada diri salah satu calon Profesor tersebut. Yaitu Dr. Moh Fadli, SH, MH, yang terhitung sejak 1 April 2020 dinaikkan jabatannya menjadi Profesor atau Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum di Universitas Brawijaya Malang.
Pasalnya dia adalah salah satu dari tiga profesor bersaudara di Keluarga Tangsil Kulon, Bondowoso, yaitu Prof Dr H Moh. Erfan Soebahar M Ag (Semarang, 2005), Prof Dr H Abd. Halim Soebahar MA (Jember, 2009), dan Prof Dr Moh. Fadli Soebahar SH MH (Malang, 2020).
Prof Dr H Abd. Halim Soebahar MA, satu dari tiga bersaudara tersebut berharap, ia bersama dua saudaranya selalu bisa istiqamah mengamalkan ilmu untuk kemaslahatan.
“Saya yang diberi kesempatan menyampaikan kesan dan pesan mewakili keluarga, hanya bisa menyampaikan kesan singkat tentang “impian ayah saya” yang ingin menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya. Ikhtiar ayah saya luar biasa dalam mewujudkan impian tersebut. Ketika saya masih di sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, saya memahami ayah saya menjalankan multi peran: sebagai seorang kiai, sebagai petani, sebagai pegawai dan sekaligus sebagai guru. Waktu-waktu harian ayah dihabiskan untuk itu. Setiap waktu salat ashar sampai shubuh selalu ngimami salat berjamaah, setiap bakda maghrib dan bakda shubuh selalu aktif membimbing pengajian kitab, setiap pagi menyempatkan ke sawah, lalu berangkat ke kantor melaksanakan tugas sebagai pegawai. Sepulang dari kantor langsung ngajar di madrasah ibtidaiyah sampai sore.” ujarnya saat tasyakuran keluarga, yang digelar secara terbatas beberapa waktu lalu dikediamannya, seperti dilansir dari tulisannya.
Abd Halim menambahkan, sejak tahun 1942 ayahnya merintis madrasah diniyah. Sebagai kepala dan sekaligus gurunya, ayahnya tidak menerima gaji, justru ayahnya yang menggaji para guru yang membantunya. Gaji para guru diambilkan dari hasil pertanian di sawah, sehingga hasil pertanian sebagian besar memang diperuntukkan untuk pengembangan pendidikan yang berbasis pesantren. Namun demikian, ketersediaan sumberdaya manusia di Tangsil Kulon sangat terbatas.
“Sampai tahun 1976 belum ada seorangpun yang sarjana di Desa Tangsil Kulon, sedang kakak saya (Moh. Erfan Soebahar) sudah kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Kala itu se-Kecamatan Tenggarang hanya ada seorang yang bergelar sarjana muda (bachelor of arts/BA) yang bermukim di Tenggarang, ayah kemudian bersahabat. Akhirnya saling bersilaturahmi dan berkunjung. Ayah bermaksud berguru agar pendidikan anak-anak lancar. Kemudian ayah menjalin silaturahmi yang lebih luas, dengan para tokoh/sarjana yang ada di Kota/Kabupaten Bondowoso, sehingga membulatkan tekad ayah untuk kelanjutan pendidikan anak-anaknya setinggi mungkin. Tentu ini memberi pelajaran berharga bagi kita, seorang ayah yang hanya tamatan klas IV, ingin pendidikan anak-anaknya setinggi mungkin, tidak tahu bagaimana caranya, akhir mencari tahu cara dengan banyak silaturahmi, bertanya dan akhirnya ayah-ibu berikhtiar lahir batin.” paparnya.
Sosok ayah dari tiga profesor bersaudara itu, pendidikannya hanyalah sampai kelas IV di Madrasah Diniyah Sukorejo, kelas tertinggi ketika itu (tahun 1941). Namun demikian sosoknya dikenal sebagai tokoh yang ahli fikih, ahli baca Alquran.
Karena intensnya silaturahmi dengan para tokoh akhirnya diminta menjadi Hakim Anggota di Pengadilan Agama Bondowoso, dan setiap Jum’at diberi kepercayaan membina Pengajian Kitab Ihya’ Ulumuddin yang diikuti para hakim dan karyawan Pengadilan Agama Bondowoso.
“Saya akhirnya sering diajak menyertai ayah silaturahmi dan diskusi dengan teman-teman ayah yang sarjana, sehingga kami berdua memperoleh banyak masukan dan pencerahan. Komitmen ayah untuk kelanjutan pendidikan anak-anaknya semakin kuat. Ikhtiar lahir batin terus dilakukan oleh ayah ibu secara istiqamah.” ujarnya.
Oleh karena itu, kisah sukses mencapai jabatan guru besar, mengingatkan Abd Halim Soebahar pada impian ayah, almarhum KH. Moehammad Soebahar (KH. Bahrul Ulum) sesaat menjelang ia menamatkan S-1 di IAIN Jember. Ayah secara spontan menyatakan: “andaikata saya kaya, anak-anak saya kuliahkan sampai mencapai gelar profesor”.
“Ungkapan ini secara ilmiah tidak sepenuhnya benar, karena profesor bukan gelar, melainkan jabatan. Selain itu, profesor juga bukan jenjang pendidikan, melainkan jenjang kepangkatan, sehingga ungkapan ayah saya maknai sebagai impian dan cita-cita yang sangat tinggi akan kelangsungan generasinya. Saya sendiri menyadari bahwa jabatan profesor atau guru besar adalah semata-mata karunia dari Allah SWT yang dapat melahirkan kebahagiaan tersendiri bagi pecinta ilmu dan pengabdi ilmu untuk kemaslahatan.” tuturnya.
Dengan semua yang dicapai oleh tiga bersaudara itu, Abd Halim mengungkapkan rasa syukurnya, apa yang dulu menjadi impian ayahnya, dan diikhtiarkan oleh kedua orang tuanya secara perlahan dikabulkan Allah SWT. Prof Dr H Moh. Erfan Soebahar M Ag telah dikokohkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hadits di IAIN Walisongo Semarang (2005), Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar, MA telah dikokohkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Islam di IAIN Jember (2009), dan Prof Dr M. Fadli Soebahar SH MH. dikokohkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum di Universitas Brawijaya Malang (2020).
“Kami enam bersaudara yang tumbuh sampai dewasa, dari pernikahan KH. Moh. Soebahar dan Nyai Hj. Sri Indiah (Hj. Siti Badriyah). Tiga saudara lainnya adalah Hj. Muhashanah, Siti Halimah (alm) dan Dr KH Zarkasyi Soebahar M PdI.” ujarnya.
Ungkapan kisah singkat, akan selalu dianggap penting oleh keluarga Soebahar, jika mungkin bisa dijadikan ‘ibrah, pelajaran berharga bagi kita, bahwa peran orang tua sangat penting dalam kehidupan kita, ikhtiar orang tua sangat menentukan bagi kebahagiaan kita.
“Mudah-mudahan kita yang masih hidup ini bisa terus berkhidmah untuk kemaslahatan, sehingga kita bisa membahagiakan kedua orang tua kita, meskipun mereka telah tiada.” pungkasnya.
Sumber : https://tandaseru.id/fakta-unik-guru-besar-fh-universitas-brawijaya-tiga-bersaudara-bergelar-profesor/