Quantcast
Channel: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Viewing all 1337 articles
Browse latest View live

Binary Option & Kenapa Kasus Judi Daring Berkedok Trading Berulang?

$
0
0

Opsi biner atau binary option adalah mekanisme pilihan finansial yang menuntut para pemainnya memilih satu dari dua pilihan: jumlah yang tetap atau tidak sama sekali. Para pemain opsi biner diharuskan menebak naik atau turunnya harga suatu aset pada masa tertentu. Pemain menerima pembayaran bila opsi biner kedaluwarsa dan bisa rugi jika kehabisan uang.

Salah satu aplikasi opsi biner ialah Binomo yang dibentuk para broker saham. Mereka menawarkan jasa skema opsi biner berupa analisa naik turun harga dalam rentang waktu tertentu. Di Indonesia, mereka memperluas ekspansinya melalui iklan di Youtube. Namun situs resmi mereka Binomo.net dan Binomo.com diblokir oleh pemerintah Indonesia.

Maru Nazara, salah seorang korban dari Binomo, merugi Rp540 juta. Dalam akun Youtube ‘Panggung Inspirasi Official’, ia mengatakan ada afiliator Binomo yang menipu publik dan mengaku sebagai trader (pemain). Ketika si pemain kalah, maka si afiliator mendapat untung 70 persen dari uang kekalahan itu. Dampak kekalahan tersebut, ada pemain yang bunuh diri, menjual harta yang dimiliki, bahkan perceraian rumah tangga.

Bahkan Ichal Muhammad, seorang aktor, sempat membagikan cerita di akun Instagram-nya soal opsi biner ini. Ia menyatakan “dari dulu banyak konten yang menyinggung jahatnya binary option dan sistem afiliasinya. Cuma ga viral jadi ga meruntuhkan tembok kokoh.”

Selama 2021, Kementerian Perdagangan memblokir 1.222 situs perdagangan berjangka komoditi ilegal dan permainan judi berkedok trading. Upaya ini dilakukan guna memperkuat perlindungan masyarakat dari bahaya investasi ilegal.

“Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan berkomitmen mengawasi kegiatan perdagangan berjangka komoditi, termasuk yang menggunakan opsi biner,” ujar Plt. Kepala Bappebti Indrasari Wisnu Wardhana, dalam keterangan tertulis, Rabu (2/2/2022).

Dari ribuan situs tersebut, terdapat 92 domain opsi biner yang diblokir seperti Binomo, IQ Option, Olymp Trade, Quotex. Bappebti juga memblokir 336 robot trading yakni Net 89/SmartX, Auto Trade Gold, Viral Blast, Raibot Look, DNA Pro, EA 50, Sparta, Fin888, Fsp Akademi Pro. Wisnu melanjutkan, opsi biner merupakan kegiatan judi daring berkedok trading di bidang perdagangan berjangka komoditi (PBK).

Aplikasi opsi biner yang beredar di Indonesia saat ini tidak memiliki legalitas. Bila terjadi perselisihan antara nasabah dengan penyedia, Bappebti selaku regulator di bidang perdagangan berjangka, tidak dapat memfasilitasi nasabah untuk mediasi perkara. Seseorang yang menggunakan opsi biner hanya menebak harga suatu instrumen keuangan, seperti forex, kripto, atau indeks saham akan mengalami kenaikan atau penurunan dalam waktu tertentu.

Jika tebakannya benar, dia akan mendapatkan keuntungan yang besarannya tidak sampai 100 persen dari modal. Sebaliknya, kalau tebakannya salah, akan merugi 100 persen. Lantas marak pula penawaran investasi forex dengan dalih melakukan penjualan robot trading. Masyarakat dijanjikan keuntungan konsisten dan pembagian keuntungan dengan penjual robot trading. Bagi anggota yang dapat merekrut anggota baru untuk bergabung, juga dijanjikan akan mendapat bonus berupa bonus sponsor.

“Entitas-entitas tersebut menggalang dana masyarakat melalui paket-paket investasi dengan menggandeng pialang berjangka luar negeri yang tidak memiliki izin usaha sebagai pialang berjangka dari Bappebti,” terang Wisnu. Para pelaku diduga melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, serta diduga menyalahgunakan legalitas Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) yang diterbitkan Kementerian Perdagangan.

Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing berujar semua kegiatan usaha perdagangan berjangka komoditi di wilayah Indonesia harus memiliki izin dari Bappebti. Pialang berjangka dari luar negeri yang tidak memiliki izin usaha dari Bappebti termasuk ilegal.

“Opsi biner tidak mendapatkan izin dari Bappebti dan transaksinya dilarang. Terdapat beberapa aturan hukum yang melarang afiliator untuk melakukan penawaran di luar kewajaran,” kata dia kepada reporter Tirto, Rabu (2/2/2022). Dalam hal ini afiliator dianggap melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 57 ayat (2) huruf d Undang-Undang Perdagangan Berjangka Komoditi.

Biner Bikin Kelengar
Dosen Hukum Perdata Universitas Brawijaya Reka Dewantara mengatakan pada opsi biner ada beberapa sistem yang membuat karakteristik yang membedakan aktivitas trading dan ‘perjudian’. Perihal opsi biner, sistem, instrumen, dan pasarnya, tidak diatur secara legal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal maupun oleh Otoritas Jasa Keuangan.

“Sebenarnya tidak ada perizinan yang diberikan kepada opsi biner. Kalau tidak ada legalitas dari sisi keabsahannya, ini semacam tebak-tebakan saja,” terang dia kepada reporter Tirto, Rabu (2/2/2022). Apakah kegiatan dalam pasar modal atau trading tadi memenuhi unsur-unsur dalam peraturan perundang-undangan? Reka berkata publik harus mengetahui ihwal keabsahan perjanjian dan siapa yang menjadi subjek, dan instrumen/objek dasar kesepakatan tersebut.

Dalam opsi biner, pemain harus registrasi dan memberikan deposit. Kemudian, transaksinya pun dipertanyakan, misalnya ada mata uang yang dimintapun menggunakan kripto; lalu ada indeks saham dan komoditas yang penggunaannya menggunakan sistem-sistem yang tak diatur dalam regulasi Indonesia.

Berkaitan dengan indeks aset, akan ada klaim dari si pemain yakni untung hingga 90 persen dan bisa rugi 100 persen jika salah tebak. “Ini yang dapat dianggap bahwa sistem yang dipergunakan jauh berbeda dengan peraturan yang ada. Legalitas sangat penting dalam investasi,” kata Reka.

Modus operandi pemasaran perdagangan opsi biner adalah dengan menggandeng pemengaruh. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menegaskan “Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah.”

Artinya, kata Reka, harus ada transparansi dan kejelasan dari produk yang ditawarkan kepada konsumen. Peraturan pun melarang produsen membuat iklan yang menyesatkan publik. Sementara peran si pemengaruh ini juga harus jelas, misalnya dia hanya diberikan kontrak terkait penawaran atau mengiklankan; tapi jika si pemengaruh tidak hanya sekadar menawarkan, malah menjadi pihak yang menawarkan investasi opsi biner, maka ia bisa dihukum. “Misalnya terjadi penipuan, dia (pemengaruh) bisa jadi pihak pelaku dalam kegiatan ilegal.

Terkait ini bisa dilaporkan kepada Satgas Waspada Investasi,” tutur Reka. Untuk menanggulangi fenomena opsi biner ini, kata Reka, Otoritas Jasa Keuangan tak bisa hanya melarang penggunaannya, itu tak efektif. Karena di kemudian hari bakal ada aplikasi dan situs situs perdagangan berjangka komoditi ilegal dan permainan judi berkedok trading. “Barangkali ke depan, jika kita ingin bisa sedikit bersahabat dengan itu (opsi biner), silakan buat, tapi bukan ilegal.

Harus memperhatikan perlindungan hukum kepada konsumen atau nasabah, semestinya ada peraturan yang lebih komprehensif tentang online trading.” Pemerintah harus bisa lebih jeli mengetahui sistem yang dibangun oleh Binomo cs dan kemudian bisa diatur lebih lanjut, seperti menggagas upaya preventif, kata Reka.

(sumber:  https://tirto.id/gos5 )


Pakar Hukum Bicara Aspek Pidana Pernyataan Edy Mulyadi, Tepis Unsur Jurnalistik

$
0
0

Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Unbraw), Aan Eko Widiarto menilai pernyataan Edy Mulyadi saat menyampaikan penolakan atas rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur (Katim), kemudian mengibaratkan lokasi baru IKN tempat jin buang anak, tidak mencerminkan nilai-nilai jurnalistik. Seperti diketahui, Edy Mulyadi belakangan mengaku pernyataannya tersebut disampaikan selaku wartawan.
“Kalau saya lihat dalam hal ini, pernyataannya kan nilai-nilai jurnalistiknya belum masuk, menurut saya. Pertama soal pemberitaan berimbang, kalau memberitakan kan pasti dari narasumber, ini kan sumbernya kan individu, pernyataan yang bersangkutan,” kata Aan kepada wartawan, Sabtu (29/1/2022).

“Bukan misalnya kata Bapak A, Ibu B. Kalau ini aktivitas pers, tanggung jawab (atas pernyataan)-nya di narasumber. Kalau (pernyataan Edy) ini kan dasar (narasumber)-nya nggak disebutkan, sehingga itu menjadikan seperti opini pribadi,” sambung Aan.

Aan mengatakan aktivitas pers harus tunduk pada Undang-undang Pers. Meskipun Edy mengaku wartawan, tak serta merta semua hal yang dilakukannya dapat disebut aktivitas pers.

“Aktivitas pers harus tunduk pada hukum pers atau Undang-undang Pers. Aktivitas pers itu, yang memenuhi Pasal 1 angka 1 UU Pers ya, seperti mengumpulkan informasi, menyampaikan informasi baik cetak maupun suara, rekaman dan lain-lain. Maka itu aktivitas jurnalistik, aktivitas pers,” terang Aan.

“Tapi kalau tidak ada aktivitas-aktivitas itu, kemudian menyampaikan (pernyataan), walaupun yang bersangkutan adalah insan pers misalnya, orang yang berprofesi di dunia jurnalistik, ini tidak bisa pasti semua yang disampaikan, yang dilakukan dan dikerjakan adalah aktivitas jurnalistik,” imbuh Aan.

Aan menekankan tindakan insan pers harus dibedakan antara saat bertugas dengan saat bertindak di luar lingkup profesinya.

Adanya Unsur Penghinaan

Aan lalu menyoroti kritik Edy Mulyadi terhadap kebijakan pemindahan IKN yang tidak berdasarkan kajian ilmiah. Pernyataan Edy, lanjut Aan, malah menimbulkan bias yakni penghinaan terhadap satu daerah.

“Kalau memang mau mengkritisi kebijakan pemerintah, dalam hal ini IKN, seharusnya dengan argumentasi ilmiah. Bukan dengan argumentasi supranatural bilang jin buang anak dan sebagainya,. Ini kan malah menimbulkan masalah yang lain,” jelas Aan.

“Kalau memang mau mengkritisi soal IKN, maka harus bisa (menyampaikan data yang) mendukung, mulai dari (sisi) politik, keamanan, sosial, ekonomi, budaya. Itu harus masuk semua. Kalau mau mengkritisi kebijakan presiden khususnya, atau pemerintah, atau negara itu ya seharusnya menggunakan data-data yang scientific,” tambah Aan.

Aan kemudian memandang ada dua perspektif dalam kasus ini. Perspektif pertama adalah soal SARA.

“Pertama perspektif masalah SARA. Dalam konteks seseorang ini membuat ujaran kebencian kepada sekelompok atau masyarakat Indonesia yang lain, dalam KUHP disebut ‘rakyat Indonesia’ yang lain,” terang Aan.

Kemudian perspektif berikutnya adalah ujaran SARA merupakan efek dari tujuan utama pernyataan, yakni mengkritisi pemindahan IKN.

“Perspektif kedua, SARA itu hanya efek samping yang besar dari tujuan utamanya yaitu melakukan hak berekspresi untuk mengkritisi kebijakan pemerintah dalam pendirian IKN yang baru,” ucap Aan.

Menurut Aan, perspektif yang pertama dapat digali unsur pidananya. Sementara perspektif kedua adalah wujud dari hak warga menyampaikan pendapat.

“Nah ini dua hal yang sangat berbeda. Satu dari sisi bisa didekati dari sisi tindak pidana. Yang satu itu tidak bisa karena merupakan HAM untuk berekspresi dan itu dijamin dalam UUD, yaitu hak berkumpul dan berpendapat. Dalam konteks ini kan berpendapat,” kata Aan.

Namun demikian, karena laporan polisi yang sedang diproses adalah terkait prespektif pertama, lanjut Aan, maka Edy Mulyadi bisa dijerat Pasal 156 KUHP.

“Terkait laporan berisi ketersinggungan seperti perspektif pertama, kalau dilihat unsurnya inikan masuk dalam KUHP khususnya Pasal 156 yang mengatur mengenai ‘di depan umum’. Kalau saya lihat videonya itukan memang di depan umum ya, kemudian disiarkan,” jelas Aan.

“Kemudian unsur menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap satu atau bebrapa golongan masyarakat Indonesia. Ini menjadi unsur-unsur tindak pidananya,” imbuh dia.

Seperti diketahui, hal yang dipermasalahkan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh Edy adalah ucapan soal Kalimantan disebut tempat jin buang anak.

“Kalau dipotong konteksnya, hanya terkait dengan penghinaan, merasa terhina karena daerahnya itu dibilang tempat buang anak jin, nah ini menjadi masuk ke dalam rumusan tindak pidana tadi,” pungkas Aan.

Awal Mula Kasus

Kasus ujaran ‘jin buang anak bermula dari pernyataan Edy Mulyadi terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur. Edy menyampaikan dirinya menolak rencana ini.

Edy menggunakan istilah ‘tempat jin buang anak’ untuk menggambarkan lokasi IKN baru. Pernyataan Edy menuai respons negatif, terutama dari masyarakat Kalimantan.

Edy lalu ramai-ramai dipolisikan. Bareskrim Polri telah menarik seluruh laporan terkait Edy Mulyadi dari tingkat jajaran untuk ditangani pihaknya.

Kasus ‘jin buang anak’ saat ini naik ke tahap penyidikan. Polisi telah memanggil Edy sebagai saksi kemarin, Jumat (28/1) untuk dimintai keterangan, namun Edy tak hadir.

Pengacara Edy Mulyadi, Herman Kadir mengatakan akan menyurati Dewan Pers. Herman menyebut kliennya menyatakan soal penolakan pemindahan IKN dan mengistilahkan IKN yang bari sebagai tempat jin buang anak dalam kapasitas sebagai wartawan.

“Kami juga akan mengirim surat ke Dewan Pers, minta perlindungan hukum karena bagaimanapun Pak Edy kan waktu bicara kan sebagai wartawan, wartawan senior diminta oleh panitia itu. Jadi antara dia pribadi dengan profesinya sudah melekat, jadi kita mau kirim surat ke Dewan Pers untuk minta perlindungan hukum. Ini kita sudah siapin suratnya,” ungkap Herman kepada wartawan pagi tadi.

(Sumber: https://news.detik.com/berita/d-5920236/pakar-hukum-bicara-aspek-pidana-pernyataan-edy-mulyadi-tepis-unsur-jurnalistik.)

Bupati Langkat Tak Hanya Terjerat Korupsi, Kapan Kasus Lain Diusut?

$
0
0

Kediaman Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin Angin, tersangka kasus dugaan suap proyek infrastruktur di Kabupaten Langkat, terdapat kerangkeng manusia yang disebut sebagai tempat rehabilitasi narkoba. Polda Sumatera Utara pun membentuk tim gabungan untuk mengusut penggunaan lokasi tersebut.

“Berdasarkan hasil penyelidikan awal, ditemukan satu hektare luas tanah, luas gedung ukuran 6×6 (meter) yang terbagi menjadi dua kamar berkapasitas kurang lebih 30 orang,” kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan di Mabes Polri, Selasa (25/1/2022). Tiap kamar dipasangi jeruji besi sebagai pembatas ruangan, seolah itu sel.

Berdasar keterangan penjaga bangunan, tempat itu merupakan penampungan pengguna narkoba dan remaja nakal. “Penghuni tersebut diserahkan kepada pengelola untuk dilakukan pembinaan. Diserahkan dengan membuat surat pernyataan,” sambung Ramadhan.

Jumlah terkini penghuni sel ada 30 orang, awalnya 48 orang. Si bupati pun mempekerjakan sebagian para penghuni sel di pabrik pengolahan kelapa sawit, tujuannya untuk membekali mereka keahlian usai bebas dari ‘penahanan.’

Mereka tidak mendapatkan upah, tapi dibayar dengan makanan ekstra. Bangunan itu ada sejak tahun 2012 dan merupakan inisiatif Terbit. Di dalam sel itu terdapat dipan kayu sebagai tempat tidur para pekerja yang dominan berambut cepak, bahkan ada rak kayu yang dipasang di dinding sebagai tempat menaruh barang-barang lainnya.

“Bangunan itu tidak memiliki izin sebagaimana diatur dalam undang-undang,” terang Ramadhan.

Keberadaan kerangkeng ini diketahui ketika Polda Sumatera Utara menemani KPK melakukan operasi tangkap tangan pada 18 Januari 2022. Berdasar penelusuran petugas, kerangkeng manusia yang dikelola oleh Ketua DPRD Langkat Sribana Perangin-angin, adik dari Terbit, dan berdiri sejak 2012 itu tak menjadi tempat rehabilitasi resmi.

Pada 2017, Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Langkat pernah menyuruh Terbit mengurus izin agar tempat tersebut memenuhi persyaratan sebagai tempat rehabilitasi narkoba. Dalam Pasal 7 ayat (1) tentang Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang Standar Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya [PDF], menyebutkan: “Status Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA yang dibentuk oleh masyarakat harus berbentuk badan hukum.”

Sementara, ayat (2) mengatakan “Selain memiliki status badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA juga wajib mendaftar kepada Kementerian Sosial atau instansi sosial sesuai dengan wilayah kewenangannya.”

“Pada saat itu jawaban Ibu Sribana hanya tempat pembinaan keluarga,” kata Plt. Kepala Badan Narkotika Nasional Kabupaten Langkat Rosmiyati, ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat (28/1/2022). “Tapi kami tetap menyarankan supaya melengkapi berkas untuk mengurus izin menjadi panti rehabilitasi yang sesuai standar BNN.”

Ketika ditanya apa upaya lanjutan dari BNN perihal perkara ini, Rosmiyati tak menjawab.

Polisi pun menemukan tujuh satwa dilindungi di rumah Terbit. Selanjutnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pun mempersilakan masyarakat membuat laporan ihwal sel pekerja sawit tersebut. Lembagai itu bersedia melindungi para korban dan saksi. “Jika ada laporan ke LPSK sesuai peraturan perundangan yang berlaku,” ujar Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution, Selasa (25/1/2022).

Lantas Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara mengevakuasi satu orang utan Sumatera, satu monyet hitam Sulawesi, satu elang brontok, dua jalak Bali, dan dua beo. Perbuatan Terbit dianggap melanggar Pasal 21 ayat (2) huruf Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990.

Perihal kasus rasuah, KPK telah menyita uang tunai dan beberapa dokumen transaksi keuangan dari penggeledahan di PT Dewa Rencana Perangin Angin yang diduga milik Terbit. Artinya, kini Terbit menghadapi tiga dugaan tindak pidana yakni korupsi, perbudakan modern, dan memiliki satwa yang dilindungi. Sementara, dua tindak pidana lainnya belum ada proses lanjutan.

Jangan Luput Penegakan Hukum

Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan Irvan Saputra menyatakan ketika Terbit masih berkelindan dalam pengusutan kasus korupsi dan intens dalam pemeriksaan oleh KPK, maka agak sulit bagi polisi untuk menindaklanjuti dua dugaan tindak pidana lainnya. “Karena KPK sedang pendalaman proses penyidikan korupsi,” tutur dia kepada reporter Tirto, Jumat (28/1/2022).

Setelah penyidikan rasuah rampung, LBH Medan bakal meminta polisi untuk menindaklanjuti soal dugaan perbudakan modern dan kepemilikan satwa yang dilindungi. KPK punya waktu 20 hari pertama untuk menahan Terbit, di sinilah lembaga antirasuah itu bisa fokus penelusuran perkara.

Irvan mengingatkan agar aparat penegak hukum tak luput menindaklanjuti kesalahan si Terbit. “Prinsipnya memang bisa masuk (pemeriksaan dua tindak pidana lain). Kami tegaskan ketika dugaan tindak pidana itu ada, maka harus diproses hukum. Jadi tanda tanya besar jika itu tidak diproses. Penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum lain harus berjalan.”

Sementara itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto berkata dugaan tindak pidana selain korupsi juga harus diungkap oleh kepolisian. “Pernyataan Kapolda bahwa itu adalah tempat rehabilitasi itu malah membuat bias. Mengaburkan masalah terkait kebebasan individu yang merupakan hak asasi manusia,” ujar dia kepada reporter Tirto, Jumat (28/1/2022).

Polri semestinya fokus pada pelanggaran hukum yang jelas-jelas ada yaitu kerangkeng orang dan kepemilikan hewan yang dilindungi, bukan memberikan dalih bahwa itu adalah tempat rehabilitasi narkotika. Bahkan pemeriksaan dugaan tindak pidana bisa berbarengan.

“Bisa saja. Toh terkait korupsi sudah ditangani KPK, polisi mengurus soal tindakan pidana yang lain,” kata Bambang.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi pun menegaskan bahwa proses penyelidikan dua tindak pidana lain yang dilakukan Terbit bisa beriringan dengan penyidikan KPK. Dugaan perbudakan modern dan/atau perdagangan orang serta memiliki satwa yang dilindungi dapat dijadikan berkas perkara baru oleh polisi.

“Kalau perdagangan orang, satuan (kepolisian yang mengusut perkara) tersendiri. Bisa dijadikan satu berkas yang dua (kasus) itu. Yang (proses hukum) di KPK tetap berjalan,” ucap dia kepada Tirto, Jumat (28/1/2022).

Nantinya Terbit bakal menjalankan hukuman yang berkelanjutan jika hakim memvonis dua tindak pidana lainnya, kata Fachrizal.

Dalam Pasal 272 KUHP menyebutkan “Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu.”

Fachrizal mencontohkan, Terbit dihukum 10 tahun penjara dalam kasus rasuah dan 5 tahun penjara untuk kasus lain. Kelar dikerangkeng satu dekade, maka Terbit harus masuk bui lagi untuk menjalani sanksi berikutnya.

Kasus yang dibuat oleh Terbit ini juga menggugah Komnas HAM. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam berkata pihaknya telah mengunjungi rumah dan kerangkeng, serta bakal terus mendalami perkara ini.

“Kami tindak lanjuti dengan meminta keterangan saksi, keluarga korban, (mengecek) perangkat dan infrastruktur di sana, termasuk (sarana) kesehatan dan sebagainya untuk memastikan sebenarnya peristiwa ini apa yang terjadi,” ucap dia, Kamis (27/1/2022).

Komnas HAM juga menanyakan perihal adanya dugaan pelanggaran hak asasi seperti dugaan penganiayaan. “Kami belum bisa ceritakan yang kami dapat, tapi kasus ini semakin terang benderang bagi kami.”

(Sumber: https://tirto.id/goiJ) 

Kapolres Nunukan Pukul Anggota: Fenomena Gunung Es Kekerasan Polisi

$
0
0

Video dugaan polisi aniaya anak buahnya di dalam aula Polres Nunukan viral. Si terduga penganiaya merupakan Kapolres Nunukan AKBP Syaiful Anwar. Pada video durasi 43 detik itu, ia tiba-tiba mendatangi anak buahnya kemudian menendang dan memukulnya hingga jatuh.

Ketika tersungkur, si korban kembali ditendang. Kejadian itu berlangsung pada 21 Oktober 2021, sekitar pukul 12.32, sesuai dengan keterangan waktu yang tercantum dalam rekaman kamera pengawas. Kabid Humas Polda Kalimantan Utara Kombes Pol Budi Rachmat menyatakan alasan dugaan penganiayaan karena kesal, lantaran gangguan sinyal.

“Saudara SL bertugas di TIK Polres Nunukan, (diduga) tidak melaksanakan tugas dengan baik, saat gangguan jaringan Zoom Meeting, (ia) tidak ada. Ditelepon tidak diangkat,” kata Budi, Senin (25/10/2021). Saat itu merupakan acara puncak Hari Kesatuan Gerak Bhayangkari dan dilaksanakan pertemuan daring via zoom bersama Mabes Polri dan Polda Kalimantan Utara.

Korban lantas mengirimkan rekaman kamera pengawas ketika ia dipukul dan ditendang. “Rekaman video tersebut diviralkan oleh SL yang dipukul Kapolres. Dikirim ke grup TIK Polda Kalimantan Utara dan grup leting bintara,” terang Budi. Akibatnya, kepolisian akan menindak korban karena dugaan pelanggaran kode etik. “Iya, berikutnya (akan diproses).”

Kapolres Nunukan Dicopot

Kapolda Kalimantan Utara Irjen Pol Bambang Kristiyono pun mencopot si Kapolres dari jabatannya. Hal itu tercantum dalam Surat Perintah Nomor: Sprin/952/X/KEP/2021 bertanggal 25 Oktober 2021. Syaiful dipindahtugaskan ke bagian Biro SDM Polda Kalimantan Utara dalam rangka pemeriksaan.

Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti menyayangkan peristiwa tersebut, meski Bidang Propam Polda Kalimantan Utara langsung sigap menangani kasus ini.

“Saya belum mengetahui secara pasti duduk permasalahannya. Kemungkinan ada kesalahan yang dilakukan anggota. Meskipun demikian, penggunaan kekerasan seharusnya tidak dipertontonkan oleh pimpinan kepada anggota,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (26/10/2021). “Tindakan menendang dan memukul itu menunjukkan masih adanya praktik militeristik warisan Orde Baru yang tidak layak diterapkan di kepolisian pascareformasi.”

Bila betul anggota bersalah, kata dia, masih ada cara pembinaan yang humanis yang dapat dilakukan pimpinan, antara lain dengan melakukan teguran dan hukuman yang mendidik. SL juga perlu diperiksa, ditegur dan diberi sanksi. Seharusnya sebagai anggota tunduk pada aturan dan proses hukum yang berlaku di internal, kata Poengky.

“Ini kelakuannya seperti tidak ada hukum di dalam institusi. Jika ada masalah, laporkan pimpinan di atasnya. Lapor Kapolda, lapor Bidang Propam, bahkan bisa lapor Kompolnas selaku pengawas fungsional Polri. Anggota perlu diarahkan jika ada masalah mengadunya ke mana,” jelas Poengky.

Ia menegaskan Kapolres maupun anggota perlu diperiksa, ditegur dan dijatuhi sanksi. Institusi punya seperangkat aturan dan semua harus patuh pada regulasi.

Problem Korps Bhayangkara

SL terancam sanksi etik karena menyebarkan rekaman kamera pengawas. Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto berpendapat ini menjadi masalah di internal kepolisian. Kepada siapa akan mengadu bila anggota di level bawah mendapatkan ketidakadilan? Artinya di internal polisi sendiri tidak percaya akan mendapat keadilan bila mengadu ke Propam, makanya memilih menyebarkan video tersebut.

“Memang risikonya dia (korban) akan mendapat sanksi etik. Itu wajar dan sanksi etik itu memang harus diterapkan kepada dia yang melanggar peraturan etik organisasi,” ucap Bambang kepada reporter Tirto, Selasa (26/10/2021).

Apakah tepat jadi korban malah turut dihukum? Menurut Bambang itu merupakan persoalan yang berbeda. Korban adalah problem pribadi dengan sosok Kapolres, berbeda dengan etika organisasi. Namun Kapolres yang melakukan kekerasan juga tak menutup kemungkinan dikenai pasal pidana bila mengakibatkan korban fatal.

“Kekerasan oleh siapa pun, kepada siapa pun, tidak boleh dilakukan. Kecuali pada pelaku kriminal yang membahayakan keselamatan orang lain,” imbuh dia.

Fenomena Gunung Es Kekerasan di Kepolisian

Fachrizal Afandi, dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, menyatakan yang dilakukan oleh Kapolres Nunukan jelas merupakan tindak pidana berupa penganiayaan yang dapat dijerat dengan Pasal 351 KUHP.

Pasal 351 KUHP menyebutkan:

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Namun secara sistem peradilan pidana kejadian itu menunjukkan masalah kekerasan lumrah di tubuh kepolisian. “Semakin menegaskan bahwa cara-cara lama mendisiplinkan anak buah dengan kekerasan sudah mendarah daging. Ini viral karena (video) dibagikan, tapi ini menunjukkan ‘gunung es’, banyak masalah lain. Reformasi sipil di kepolisian belum berhasil,” ucap dia kepada Tirto, Selasa.

Insiden tersebut mencerminkan budaya feodalistis di Korps Bhayangkara, penganiayaan itu tak layak dilakukan, kata Fachrizal.

“Bagaimana dia memperlakukan masyarakat jika dia kepada anak buahnya (bertindak) seperti itu? Ini masalah sistemis dan bisa jadi evaluasi kepolisian. Iya, itu penganiayaan,” kata dia.

Jika ada penyelisikan mendalam, kata Fachrizal, maka kasus serupa yang tidak muncul di permukaan diduga lebih banyak daripada yang viral. Fachrizal melanjutkan, di negara lain bila ada kasus serupa, penyidikan dilakukan oleh jaksa agar objektif. Sementara perkara ini bisa tergolong sulit selesai.

Lantas, apakah SL mau divisum dan melaporkan kepada pihak polres yang sama dengan tempat ia bertugas? Akuntabilitas dan transparan Polri sangat penting. Jika dua hal itu betul dikerjakan, maka makin menjamin profesionalitas institusi. Tidak ada lembaga publik yang merasa paling benar sendiri kalau diawasi publik.

Sedangkan SL diduga melanggar etik profesi karena menyebarkan video tersebut. “Secara lebih dalam harus tidak (dihukum) karena dia pelapor pelanggaran. Dia tidak bersalah, dia korban. Kalau (video) tidak dibagikan apakah akan jadi perhatian (sehingga) Kapolres dicopot?” jelas Fachrizal.

Dalam satu bulan ini, banyak anggota Polri yang menjadi terduga pelanggar peraturan ditindak usai perintah tegas Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo seperti Kapolsek Parigi dipecat karena kasus dugaan memerkosa anak tahanan, Polantas di Sumatera Utara yang pukuli warga dicopot, Kapolsek Percut Sei Tuan dicopot, polisi pembanting mahasiswa di Tangerang ditahan, Polantas pacaran menggunakan mobil dinas dimutasi, dan Aipda Ambarita yang dimutasi lantaran buntut mengecek ponsel warga tanpa izin.

Polri berhak mendapatkan apresiasi dari upaya mereka menindak personel yang membandel, tapi reformasi kepolisian belum berhasil dilakukan oleh Korps Bhayangkara. “Tapi itu parsial, kasuistik. Harus ada jaminan perubahan sistemis. Perubahan sistemis seperti kepolisian mempromosikan transparansi dan akuntabilitas lebih luas,” tutur Fachrizal.

(Sumber: https://tirto.id/gkLF)

Mengapa Kasus Narkoba Semakin Marak hingga Polisi Jadi Pemakai?

$
0
0

Penyebaran narkoba semakin mengkhawatirkan. Badan Narkotika Nasional (BNN) melaporkan mereka telah menyita sekitar 115,1 ton ganja, 3,3 ton sabu, 50,5 hektar lahan ganja, dan 191.575 butir ekstasi sepanjang 2021.

Kepala BNN Komjen Polisi Petrus R. Golose mengatakan, temuan tersebut berdasarkan barang bukti dari pengungkapan 85 jaringan sindikat narkoba. Dari jaringan tersebut, BNN mengungkapkan 760 kasus tindak pidana narkoba dan menangkap 1.109 tersangka.

Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan kasus 2020. Selama 2020, ada 833 kasus dengan jumlah tersangka 1.307 tersangka. Namun angka sitaan sepanjang 2020 lebih kecil daripada 2021. Sebagai contoh, angka ganja hanya 2,4 juta ton, 30,5 hektar ganja, dan 55 batang pohon ganja serta 1,05 ton sabu. Sementara itu, angka penggunaan ekstasi di angka 342.055 butir atau lebih rendah daripada 2021.

Pihak BNN mengaku angka peredaran pada 2021 jauh lebih tinggi dibandingkan 2020. Petrus mencontohkan BNN menyita barang bukti sabu-sabu sejumlah 808,68 kilogram, atau sudah mencapai 70,19 persen dari jumlah yang disita selama 2020 yang sebesar 1.152,2 kilogram dalam periode Januari-Maret 2021.

“Atau 70,19 persen dibandingkan dengan jumlah barang bukti tahun 2020 sebanyak 1.152,2 kilogram. Jadi baru tiga bulan kita melaksanakan operasi ini, barang bukti yang bisa kami sita itu sudah 70,19 persen,” kata Petrus dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 18 Maret 2021 lalu.

Petrus mengatakan, barang bukti ganja yang disita BNN selama Januari-Maret 2021 juga mengalami peningkatan yaitu meningkat 143,64 persen dibandingkan barang bukti pada 2020.

Peredaran narkoba tidak hanya menyasar warga. Aparat penegak hukum pun menjadi pengguna. Pada 2020, kepolisian memecat 113 anggota dari kesatuan dengan mayoritas adalah kasus narkoba. Sementara tahun ini, anggota masih ada yang terjerat kasus narkoba.

Sebagai contoh Kapolsek Sepatan AKP Oky Bekti Wibowo kehilangan jabatan sebagai kapolsek gegara ketahuan menggunakan narkoba berjenis sabu-sabu. Ia lantas dimutasi ke Polda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan.

Hal menyedihkan lain adalah Kapolsek Astanaanyar Kompol Yuni yang melakukan pesta narkoba bersama anggotanya. Yuni lantas dipecat secara tidak hormat bersama anggotanya.

Mengapa Narkoba Sulit Diberantas & Polisi Jadi Pengguna?

Peneliti Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari menilai jumlah kasus maupun penggunaan narkotika meningkat karena pemerintah tidak menyelesaikan masalah dasar narkotika. Hal ini tidak lepas dari logika pemerintah dalam penanganan pengguna narkoba dengan pemenjaraan daripada upaya rehabilitasi.

“Jadi selama supply-nya ada, bandar peredaran gelap masih terus ada, dan demand dari pengguna gak diintervensi pakai rehabilitasi, pakai pendekatan kesehatan, tapi pakai penjara, dia nggak akan menyelesaikan masalah,” kata perempuan yang akrab disapa Tita itu kepada Tirto, Kamis (30/12/2021).

Tita mengatakan, pemerintah tidak mengontrol siapa pengguna yang layak secara legal dan tidak, serta mengedepankan pemenjaraan membuat warga diam-diam mencari narkotika. Polisi pun menggunakan narkoba karena barang tersebut mudah diperoleh di publik.

“Kalau itu masalahnya, itu polisi atau masalahnya pejabat ya memang akses narkotika sudah sebebas itu dan nggak bisa dikontrol itu. Kita nggak tahu beli bisa di mana saja. Mau dia polisi, mau dia pejabat,” kata Tita.

Di sisi lain, regulasi di Undang-Undang Narkotika sangat ‘karet’ karena tidak bisa membedakan antara pengguna biasa dengan pengedar dengan baik. Ia mencontohkan bagaimana Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114, dan Pasal 115 UU Narkotika sebagai upaya pemidanaan. Kemudian ada ruang gelap yang bernama rehabilitasi sesuai Pasal 127 UU Narkotika yang menjadi ‘ruang negosiasi’ polisi dan pengguna yang terjerat hukum.

“Sebenarnya ada pasal yang dia bisa rehabilitasi, tapi karena pasalnya karet dalam praktik banyak dijual beli, di dalam praktiknya dia pengguna mau bayar polisi buat transaksional, buat lahan polisi. Kalau mau direhabilitasi lu harus bayar segala macam nanti dikenakan Pasal 127,” kata Tita.

Tita menambahkan, proses rehabilitasi pun rumit dan kompleks karena ada syarat-syarat administrasi yang harus dipenuhi. Kemudian dokumen yang dipenuhi harus di fasilitas kesehatan (faskes) khusus sehingga sulit terpenuhi di daerah terpencil.

Oleh karena itu, Tita menilai permasalahan peredaran narkotika harus dilakukan secara komprehensif. Pertama, pemerintah harus merevisi UU Narkotika dengan menghapus pasal karet. Kedua, negara harus menyediakan fasilitas kesehatan memadai untuk menjaga para pengguna agar tidak terjerumus lebih jauh sebagai pengguna narkoba.

“Jelas revisi Undang-Undang Narkotika pasti harus kita tempuh. Nah yang di bagian keduanya di faskesnya jadi jaminan fasilitas layanan untuk orang-orang pengguna, kemudian bagaimana mereka kontrol dan dibantu tenaga kesehatan profesional jadi mereka bisa tahu takaran dan sebagainya,” kata Tita.

Ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi melihat lebih jauh dalam polemik narkoba ini. Menurut Fachrizal, kasus narkoba yang semakin marak menandakan upaya penanganan narkoba perlu dievaluasi. Ia menilai, konsep War on Drugs yang diterapkan Amerika saja sudah mulai dievaluasi padahal Indonesia meniru konsep tersebut.

“Misalkan soal ganja. Ganja itu masih masuk golongan 1 padahal itu masih debatable, banyak negara juga sudah mulai tidak termasuk yang dikriminalisasi. Makanya undang-undang narkoba ini juga perlu, Undang-Undang Narkotika harus dievaluasi, narkotika mana saja yang bisa dikriminalisasi. Jadi ada yang harus dievaluasi nih,” kata Fachrizal kepada reporter Tirto.

Fachrizal mengaitkan dengan banyaknya polisi yang juga menjadi pengguna. Ia mengatakan, tidak sedikit polisi membeli dan mengkonsumsi narkoba dengan dalih penyitaan atau mengambil sebagian bukti untuk konsumsi sendiri.

“Jadi polisi kan bisa nyita apalagi ada pembelian terselubung. Seolah-olah misalkan menangkap narkotik pura-pura jadi pembeli, gitu. Kalau ketahuan alasannya pembelian terselubung, tapi kalau nggak dipakai sendiri. Kan bisa jadi modus,” kata Fachrizal.

Semua masalah penanganan narkoba bermuara dari regulasi yang karet dan pengawasan pelaksanaan penindakan oleh penegak hukum dalam kasus narkoba, kata dia. Hal tersebut dibuktikan dengan mayoritas napi saat ini merupakan kasus narkotika dan memicu overcrowding di lapas.

Oleh karena itu, Fachrizal menyarankan, pertama agar regulasi karet dalam UU Narkotika diperbaiki. Ia menyarankan tidak ada lagi pasal karet sehingga tidak ada prosedur hukum yang disalahgunakan, apalagi Indonesia mulai menerapkan restorative justice (RJ) pada pengguna narkoba.

Kedua, Fachrizal menyarankan agar peran pengawasan diperkuat di lingkungan penegak hukum. Dengan demikian, tidak ada aksi kongkalikong atau upaya mencari untung dari aparat penegak hukum dalam penanganan narkotika.

“Pengawasan check and balances antaraktor pengadilan jaksa harus diperkuat, jadi tidak pengawasan vertikal. Di mana-mana yang namanya sistem pengawasannya harusnya horizontal. Kenapa horizontal? agar check and balance ya agar mempersulit untuk kongkalikong,” kata Fachrizal.

(Sumber: https://tirto.id/gmVG)

Cermin Ketidakprofesionalan Polisi: Sering Abaikan Laporan Warga

$
0
0

Selasa, 21 Desember 2021, sekira pukul 2 pagi, DR, seorang ibu di Kota Bekasi, mengadukan dugaan pencabulan terhadap anak perempuannya yang berumur 11 tahun. Bukannya menerima pelaporan itu, polisi diduga menyuruh DR untuk meringkus A, terduga pelaku sekaligus tetangganya. Karena kesal dan kecewa dengan respons kepolisian, ia pun mulai menelusuri jejak si terduga pelaku. Dia juga mengajak korban ke RSUD Bekasi untuk dilakukan visum.

Lantas ia mendapatkan informasi dari Ketua Rukun Tetangga bahwa A hendak pergi ke Surabaya. Kemudian DR bersama empat anggota keluarganya berinisiatif menyambangi Stasiun Bekasi, ternyata A berada di sebuah warung sekitar stasiun. A pun ditangkap dan dibawa ke Polres Bekasi Kota.

“Masa yang menangkap (A) saya? Bukan polisi. Seharusnya polisi, dong,” kata DR.

Pada Senin, 27 Desember 2021, Bidang Humas Polda Metro Jaya mengeluarkan rilis tertulis perihal kasus ini. Pengadu meminta maaf kepada kepolisian karena diliputi marah ketika menyampaikan keterangan kepada publik. “Saya minta maaf, kemarin saya dalam keadaan emosi,” kata DR.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan mengatakan penyidik menjelaskan kepada DR bahwa proses penangkapan atau mengamankan pelaku dibutuhkan minimal dua alat bukti.

Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti berujar pihaknya berharap Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya segera memeriksa, apakah benar anggota Polres Bekasi Kota justru menyuruh DR selaku ibu korban dan keluarga menangkap sendiri pelaku dengan alasan belum ada surat perintah.

“Jika benar, hal ini sangat memalukan karena menunjukkan tidak profesionalnya anggota. Seharusnya polisi sigap menindaklanjuti laporan dan melakukan olah TKP. Pimpinan harus segera mengevaluasi hal ini. Jangan sampai ketidakprofesionalan anggota menurunkan kepercayaan masyarakat pada polisi,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (28/12/2021).

Sensitivitas anggota dalam menerima laporan sangat penting. Apalagi kasus yang dilaporkan dugaan pencabulan terhadap anak, yang sewaktu-waktu terduga pelaku bisa melarikan diri. Maka kesigapan polisi untuk segera menindaklanjuti laporan dengan penyelidikan perlu dilakukan. “Tentu saja jika sigap memproses laporan, maka menunggu adanya surat perintah bukan jadi alasan.”

Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi menyatakan, ada fenomena yang ditangkap publik sebagai perilaku tidak profesional dari Korps Bhayangkara.

“Jadi harus direspons secara kelembagaan, bukan hanya untuk kasus ini saja, tapi sebagai perintah bagi seluruh personel kepolisian agar profesional menerima pengaduan masyarakat,” tutur dia kepada reporter Tirto.

Bahkan polisi yang cuek dengan pengaduan publik bisa dihukum. Jika kesalahan terdapat pada pekerjaannya, maka sanksi terkait jabatan, seperti dipindahkan, diberikan pendidikan, dan demosi. Tentu di internal kepolisian ada standarnya, kata Fajri.

Fajri berpendapat Kapolri harus lebih banyak fokus kepada pelayanan publiknya, khususnya yang terkait dengan penegakan hukum. Fokus menjalankan perannya dalam penyelidikan dan penyidikan, tidak sampai menambah beban dari korban yang seharusnya dilindungi.

Apakah Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia perlu direvisi? Ia mengaku belum bisa jawab sejauh itu, namun kasus yang ini harusnya bisa diselesaikan dengan mekanisme internal. Penyelesaian kasus ini akan membuktikan kualitas organisasi kepolisian sendiri.

Dalih Alat Bukti

Sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dahulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, bertujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan perihal alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam perkara DR, ia telah memberikan pengaduan dan melakukan visum.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi mengatakan polisi mulai menyelidiki perkara apakah ada peristiwa tindak pidana. Salah satunya, aduan warga jadi dasar polisi bergerak.

“Ketika ada pelaporan dia harus menganalisis, semacam penilaian apakah ini bisa jadi laporan atau tidak. Tapi melapor sah-sah saja, apalagi ini kasus dugaan pencabulan. Harusnya segera ditangani,” terang dia kepada reporter Tirto, Selasa (28/12/2021).

Tapi untuk menangkap seseorang memang terganjal oleh minimal dua alat bukti. “Bukti itu bisa keterangan korban, apalagi ada hasil visum. Seharusnya bisa (polisi menangkap terduga pelaku). Kenapa orang ditangkap dan ditahan? Karena khawatir melarikan diri,” sambung Fachrizal.

Pada kasus ini, kata dia, alat bukti keterangan surat dihitung menjadi satu alat bukti, sedangkan keterangan saksi juga menjadi satu alat bukti.

Polisi tak betul menyuruh DR menangkap A, karena secara hukum, masyarakat dilarang main hakim sendiri. Tindakan ibu korban mengadu ke kepolisian sudah tepat dan haram diabaikan, kata Fachrizal.

Tugas kepolisian adalah menyelidiki dan mestinya kepolisian bisa membantu melakukan visum untuk korban. Selanjutnya, penyidikan dilakukan untuk mencari tersangka. Jika sudah ada hasil visum, keterangan pengadu, dan tindak pidana, maka jelas bagi polisi untuk menelusuri kasus.

“Polisi itu mengayomi. Masyarakat bayar pajak untuk menggaji polisi agar (polisi) memberikan keamanan bagi setiap warga negara. Ketika ada laporan, wajib ditindaklanjuti,” kata Fachrizal.

Ihwal penangkapan, tidak masalah polisi meringkus A. Karena dalam 1×24 jam, polisi bertugas untuk mengembangkan perkara. Bila ternyata A bukan tersangka, maka bisa dilepas. Dus, kasus pencabulan anak mengancam pelaku dengan hukuman di atas 5 tahun penjara, maka wajar saja jika tersangka ditahan.

Pasal 21 KUHAP yang menyatakan perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana.

Dia merasa aneh ketika DR meminta maaf kepada polisi dan itu jadi pertanyaan publik. “Harus dipahami jika keluarga korban emosional. Polisi tidak boleh menyalahkan keluarga korban,” kata dia. Hal wajar jika DR memberikan keterangan kepada jurnalis perihal hal yang menimpanya. “Jangan salahkan masyarakat memviralkan perkaranya, karena yang mereka tahu ya itu. Ketika mereka tidak bisa memaksa polisi menegakkan hukum, ya, mereka melakukan itu (viralkan kasus).”

Fachrizal merasa UU Polri perlu direvisi karena dalam pembentukannya, regulasi tersebut ‘salin-tempel’ Undang-Undang TNI, maka kepolisian hari ini masih terlihat militeristis. Seharusnya polisi, setelah pemisahan Polri dan TNI, pendekatan Korps Bhayangkara lebih menyentuh sipil. Kepolisian adalah pelayan warga negara, bukan alat negara.

Kudu Ingat Slogan Instansi

Kasus polisi ‘cuek pengaduan’ juga pernah dialami oleh Meta Kumalasari. Perkara ini jadi sorotan publik karena anggota Polsek Pulogadung, Aipda Rudi Panjaitan, menolak pengaduan Meta usai perempuan itu dirampok pada Selasa, 7 Desember 2021, di Jalan Sunan Sedayu, Rawamangun, Jakarta Timur, sekitar pukul 19.20 WIB. Tas berisi uang senilai Rp7 juta, dan kartu-kartunya digaet para pelaku.

Aipda Rudi malah menyalahkan korban, ia bilang “buat apa punya banyak kartu ATM dan percuma juga mencari para pelaku,” bahkan menyuruh korban pulang untuk menenangkan diri. Akibatnya, si polisi harus menjalani sidang profesi sebagai bentuk pertanggungjawaban, pada 17 Desember 2021.

Subdit Resmob dan Subdit Jatanras Polda Metro Jaya pun berhasil menangkap tiga dari lima terduga pelaku dan merekomendasikan Mabes Polri untuk memutasi Rudi keluar wilayah hukum Polda Metro Jaya.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto menegaskan polisi bukan hanya melakukan reformasi kultural, tapi juga revolusi mental. Polri harus mengubah sistem dan struktural secara integral, sistematis dan cepat.

Saat ini publik tidak hanya menuntut polisi bertindak benar dan cermat saja, tapi harus berkejaran dengan kecepatan tangan warganet untuk memviralkan kesalahan maupun pelanggaran yang dilakukan anggota yang memiliki lambang instansi ‘Rastra Sewakottama’ itu.

“Mentalitas mereka (Polri) masih stagnan seperti di era kolonial sebagai ‘ambteenar’, petugas yang sok berkuasa, pemegang kewenangan penegakan hukum, bukan sebagai pengayom dan pelindung masyarakat,” kata Bambang kepada Tirto.

Sekecil apa pun kasus, kata Bambang, semua personel Polri harus peduli karena tugas utamanya adalah melayani, melindungi dan mengayomi rakyat Indonesia. Sebagai warga negara, lanjut Bambang, ia tidak tahu lagi apakah aturan-aturan sanksi seperti demosi, mutasi, penahanan bahkan pemecatan masih efektif untuk membuat anggota polisi itu jera atau tanpa ada konsistensi dari Polri sendiri.

“Karena kasus-kasus pelanggaran terus berulang meski sudah ada aturan yang jelas,” imbuh dia. Revisi UU Polri menjadi hal wajib dan tak bisa ditunda lagi, tapi masalahnya sampai saat ini pemerintah atau DPR belum menginisiasinya dengan serius. Revolusi mental di tubuh Polri tak bisa hanya dipasrahkan pada kepolisian sendiri, namun harus didorong dan dikawal pemerintah dan DPR.

Tanpa itu, kata Bambang, mungkin masyarakat hanya bisa mengadu di media sosial lantaran tidak ada saluran pengaduan dan penanganan perkara yang dipercaya. Menilik dari situs polri.go.id, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan “Polri tidak hanya akan selalu bekerja profesional, yakni mendasarkan kinerjanya kepada ilmu pengetahuan dan sistem hukum yang berlaku, tetapi juga amanah, akuntabel kepada pemangku kepentingan antara lain dengan menggunakan kewenangannya secara bijak dan santun pada masyarakat yang kami layani.”

Namun kenyataannya, masih saja ada personel polisi Indonesia yang tidak sejalan dengan harapan warga negara. Baca juga: Penghentian Kasus Heli AW-101, Panglima TNI: Saya Telusuri Dulu Menyelisik Penyebab Harga Telur Ayam Melonjak Pesat Saat Nataru Kasus Korupsi Heli AW 101: Dihentikan Puspom TNI, di KPK Terkendala Respons Polri Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono menyatakan Polri mengusut kasus polisi yang menolak laporan pencabulan anak yang diadukan oleh orang tua korban di Bekasi, Jawa Barat.

“Ini sedang didalami oleh Propam. Tadi juga Kapolri menekankan masalah seperti itu, bagaimana hal seperti ini tidak terjadi lagi,” ujar dia di Mabes Polri, Rabu (29/12/2021). Rusdi berharap kualitas tugas pokok polisi sebagai pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat semakin baik.

“Tugas-tugas pokok dilaksanakan semakin berkualitas sesuai harapan masyarakat,” lanjut dia.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo meminta seluruh personel kepolisian dalam menjalankan tugasnya tidak sekali-kali melupakan tugas pokoknya untuk selalu melayani, melindungi, dan mengayomi masyarakat. “Ingatkan, ingatkan, ingatkan bahwa tugas kita (polisi) adalah memberikan pelayanan.

Tugas pokok, yaitu melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Hal ini sebenarnya adalah doktrin dan tugas kita dari dulu,” kata Sigit saat memimpin Upacara Sertijab Tujuh Kapolda di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (29/12/2021).

Menurut Sigit, tugas pokok dan fungsi aparat penegak hukum tersebut harus ditanamkan dalam diri setiap personel Polri dan diterapkan dalam bertugas sehari-hari. Jenderal bintang empat itu menyoroti maraknya kemunculan tanda pagar di media sosial terkait persepsi publik terhadap Polri. Hal tersebut hendaknya disikapi dengan langkah-langkah konkret untuk melakukan perbaikan di institusi Korps Bhayangkara sehingga pelanggaran tidak terulang kembali.

“Tanamkan itu setiap hari. Berikan contoh, turun ke lapangan, cek apakah semua berjalan dengan baik. Kalau ada kekurangan lakukan koreksi,” ujar Sigit.

(Sumber: https://tirto.id/gmN7)

Kapolri Ingin Tampilkan Polisi Humanis, tapi Anak Buahnya Brutal

$
0
0

“Pak, saya minta maaf atas perbuatan saya.”

Kalimat tersebut adalah satu dari bagian pernyataan NP, anggota Polri yang bertugas di Polres Tangerang kepada FA dan keluarganya di Polres Tangerang. FA pun memaafkan aksi NP terhadapnya.

Aksi minta maaf NP bukan tanpa musabab. Semua berawal ketika FA bersama kawan-kawan mahasiswa berdemo saat perayaan Hari Ulang Tahun ke-389 Kabupaten Tangerang, Rabu (13/10/2021). Kala itu, aksi mahasiswa dibubarkan aparat secara brutal.

Hal tersebut ramai setelah beredar video sekitar 48 detik yang menggambarkan momen salah satu anggota, yakni NP membanting FA yang merupakan salah satu peserta aksi. Dalam video tersebut, FA mengalami kejang-kejang hingga tidak sadarkan diri.

Kepolisian lantas meminta maaf atas insiden kekerasan tersebut. Kapolres Tangerang Kombes Pol Wahyu Sri Bintoro meminta maaf mewakili Polres Tangerang dan Polda Banten.

“Polda Banten meminta maaf, saya sebagai Kapolresta Tangerang minta maaf saudara MFA, 20 tahun mengalami tindakan kekerasan oleh oknum pengamanan aksi unjuk rasa di depan gedung Pemkab Tangerang,” kata Wahyu.

Wahyu mengatakan, polisi langsung membawa FA ke rumah sakit dan mendapatkan penanganan medis. Kepolisian mengklaim pengecekan awal kesehatan FA baik. Kapolda Banten pun sudah bertemu dengan korban dan keluarga. Wahyu mengaku polisi akan menindak tegas anggota pelaku yang membanting FA.

“Bapak Kapolda Banten secara tegas akan menindak personel yang melakukan aksi pengamanan di luar SOP dan berjanji langsung kepada korban dan keluarga korban,” kata Wahyu.

Kejadian tersebut tentu bertolak belakang dengan janji Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo yang akan menampilkan wajah polri yang tegas, tapi humanis.

“Apa yang menjadi harapan masyarakat terhadap Polri tentunya bagaimana menampilkan Polri yang tegas namun humanis, bagaimana menampilkan Polri yang mampu memberikan pelayanan publik yang baik, bagaimana kita memberikan pelayanan secara transparan, dan bagaimana kita mampu memberikan penegakan hukum secara berkeadilan. Ini tentunya menjadi tugas kami ke depan,” kata Sigit usai dilantik Jokowi.

Aksi Brutal Aparat saat Amankan Demo

Aksi NP memantik emosi publik. Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid menilai tindakan membanting mahasiswa yang berdemo sebagai aksi brutal dan tidak boleh dilakukan aparat.

“Tindakan itu jelas merupakan tindakan kriminal karena dia menggunakan kekuatan dan tindakan kekerasan yang tidak diperlukan (unnecessary use of force and violence)” kata Usman dalam keterangan tertulis, Rabu (13/10/2021).

Usman pun mendesak agar pemerintah memproses anggota polisi yang membanting ke ranah hukum. Ia ingin agar penghukuman dilakukan supaya kasus serupa tidak terulang. Apalagi tindakan kekerasan oleh polisi sering terjadi saat pengamanan demo mahasiswa.

Sebagai catatan, aksi kekerasan Polri memang bukan kali pertama bertindak kasar. KontraS, salah satu lembaga swadaya masyarakat bidang HAM, mencatat 19 dari 29 aksi kekerasan dilakukan polisi untuk membubarkan massa selama PPKM dan PSBB per 26 Juli 2021.

Dari 19 kasus, 10 kasus adalah penangkapan sewenang-wenang dan 364 orang menjadi korban penangkapan sewenang-wenang. Selain itu, kekerasan yang marak terjadi selama penanganan pandemi ini adalah intimidasi dan pembubaran paksa.

Dalam hal intimidasi, polisi seringkali mengancam akan memidanakan warga jika melakukan suatu perbuatan. Sebagai contoh, Polda Bali mengancam akan memenjarakan masyarakat apabila melakukan provokasi PPKM darurat di media sosial pribadi pengunggah. Angka kekerasan yang dilakukan kepolisian berdasarkan catatan KontraS di luar penanganan COVID pun besar.

Data yang KontraS himpun sejak Juni 2020 – Mei 2021 menunjukkan realitas suram, yaitu terdapat 651 kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota polisi terhadap masyarakat sipil. KontraS juga menemukan berbagai keberulangan pola kekerasan seperti maraknya penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur dan dominasi kekerasan yang terjadi di tingkat Polres.

Berdasarkan data 651 kasus kekerasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, KontraS menemukan mayoritas kasus kekerasan terjadi di tingkat Polres dengan total 399 kasus. Pada tingkatan Polda terdapat 135 kasus dan 117 kasus ditingkatan Polsek. Karena itu, Usman mengatakan “Negara harus membawa anggota polisi yang melakukan aksi brutal tersebut ke pengadilan untuk diadili agar ada keadilan bagi korban, dan agar menjadi pelajaran bagi polisi lainnya. Jika tidak, maka brutalitas polisi akan berulang.”

Kasus kekerasan di Tangerang, Banten tersebut terjadi hanya dalam selang waktu singkat setelah pernyataan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo yang meminta jajaran Polri agar menjadi polisi humanis.

Hal senada diungkapkan Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani. Ia mendesak Presiden Jokowi turun tangan agar kasus peserta demo yang dianiaya anggota tidak terulang.

“Presiden agar mengevaluasi secara menyeluruh sistem penanganan unjuk rasa oleh kepolisian untuk memastikan tidak ada kekerasan di kemudian hari,” kata Julius Ibrani dalam keterangan tertulis, Kamis (14/10/2021). Julius juga mendesak Kapolri Sigit mengevaluasi sistem penanganan unjuk rasa secara nasional dan menindak tegas jajaran kepolisian di Banten, mulai dari Polda, Polres, dan keseluruhan tim yang terlibat dalam penanganan aksi di Kabupaten Tangerang.

Julius mengingatkan aksi demonstrasi dilindungi UUD 1945, UU HAM No. 39 Tahun 1999, UU No. 9 Tahun 1998. Polisi pun harus menghormati dan menjaga peserta unjuk rasa sebagaimana diatur dalam Perkapolri No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

Di sisi lain, kata dia, polisi tidak sekali ini melakukan pengamanan demo secara brutal. Aksi represif juga terjadi sebelumnya, seperti aksi penolakan UU Cipta Kerja.

Oleh karena itu, perlu ada penyelesaian secara kelembagaan sehingga tidak hanya kapolri, tapi juga presiden, kata Julius. “Jadi harus dipandang masalah krusial yang bersifat kelembagaan. Sehingga tidak relevan dengan jalur personal seperti permintaan maaf. Harus ada evaluasi menyeluruh dari hulu ke hilir, mulai dari sistem pendidikan dan pelatihan anggota Polri sampai pengawasan dan penindakan tegas,” kata Julius.

Kasus Polisi Banting Pendemo Tak Cukup Minta Maaf

Ahli Hukum Pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Affandi mendesak agar kepolisian tetap memproses anggota yang membanting mahasiswa. Ia mengatakan, banyak hal yang dilanggar sehingga harus diproses secara hukum.

“Yang pertama jelas ini merupakan delik pidana. Penganiayaan yang menyebabkan luka. Kedua melanggar ICCPR. Ketiga Perkap HAM. Jelas tidak bisa selesai dengan minta maaf,” kata Fachrizal kepada reporter Tirto, Kamis (14/10/2021).

Dalam jangka dekat, kata dia, pemidanaan pelaku pembanting pedemo penting agar menjadi pelajaran bagi personel lain supaya berhati-hati. Oleh karena itu, sidang disiplin tidak cukup untuk membuat anggota lain tidak berperilaku serupa.

Apalagi, Fachrizal menuturkan, insiden penganiayaan bukan kali pertama. Ia mengingatkan ada mahasiswa yang dipukuli meski ada aksi damai di masa lalu.

Menurut Fachrizal, kasus ini terjadi salah satunya berujung pada masalah transparansi dan akuntabilitas Polri. Ia menerangkan, masalah transparansi dan akuntabilitas Polri sudah menjadi pekerjaan rumah yang masih belum diperbaiki korps Bhayangkara. Ia beralasan, Polri yang bagian sipil seharusnya mengubah kulturnya menjadi kultur sipil daripada masih memegang adat ABRI yang mengedepankan gaya represif Orde Baru.

“Sejak pemisahaan Polri dari ABRI awal reformasi dulu, harusnya kultur polisi sudah berubah sipil. Tidak lagi mempertahankan cara-cara represif ala militer Orde Baru, tapi kenyataannya, nampak jika polisi masih nyaman dengan budaya dan organisasi ala militer,” kata Fachrizal.

Fachrizal pun menilai Kapolri Jenderal Listyo Sigit harus memperbaiki korps Bhayangkara, apalagi setelah ramai tagar #percumalaporpolisi. Kepolisian harus mengevaluasi diri, melakukan audit kinerja dan mengimplementasikan perkap HAM 8 tahun 2009.

Di sisi lain, kata dia, pendidikan polisi harusnya didesain lebih sipil dan profesional. “Selama masih mempertahankan mindset militerisme kejadian ini pasti akan terus berulang,” kata Fachrizal.

(Sumber: https://tirto.id/gkot)

Saat Korban jadi Tersangka & Kasus Viral Dulu Baru Polisi Bertindak

$
0
0

Polisi menetapkan LG, seorang perempuan pedagang yang diduga dianiaya oleh preman berinisial BS di Pajak Gambir Tembung, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, jadi tersangka.

Kasusnya bermula ketika ia menolak memberikan uang Rp500 ribu kepada si pemalak, 5 September 2021. Pagi, sekira pukul 7, BS mengaku kepada si pedagang sebagai anggota organisasi.

Lantas LG bertanya siapa BS sehingga meminta-minta duit, sembari menolak dan ia pergi berbelanja. Dua jam kemudian LG rampung berbelanja, si pemalak masih di lokasi dan tetap meminta uang.

BS melarang LG, “Tak usah kau jualan di situ, bikin macet.” Kemudian ia turun dari motor dan dua kali menendang LG.

Si pedagang mengadukan perbuatan itu ke Polsek Percut Sei Tuan, tapi si pemalak juga melaporkan perempuan itu dengan alasan dirinya juga dipukul. Penyidik menelusuri perkara, lalu menetapkan LG jadi tersangka. Kejadian itu viral di media sosial, lantas Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol R.Z. Panca Putra Simanjuntak memerintahkan Kapolrestabes Medan dan Direktorat Kriminal Umum Polda Sumatera Utara untuk menarik kasus itu.

Perkara dengan terlapor BS ditangani oleh Sat Reskrim Polrestabes Medan, sementara kasus dengan terlapor LG dikerjakan oleh Direktorat Kriminal Umum Polda Sumatera Utara.

Berdasarkan gelar perkara, si pemalak pun menjadi tersangka. Mabes Polri turun tangan dalam kasus ini. Hasil audit menyebutkan penyidikan dinyatakan tidak profesional.

“Ditemukan adanya penyidikan yang tidak profesional yang dilakukan oleh Polsek Percut Sei Tuan Medan. Sehingga per 12 Oktober 2021 Kanit Reskrim Polsek Percut Sei Tuan dicopot,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono, di Mabes, Rabu (13/10/2021).

Dalam surat panggilan terhadap LG, tertera jelas status tersangka terhadap perempuan itu dan ia dijerat Pasal 170 subsider Pasal 351 ayat (1) KUHP. Kini tim audit pun masih melakukan rangkaian pemeriksaan terhadap Kapolsek Percut Sei Tuan.

******

Aurellia Renatha, anak dari Kombes Pol Rachmat Widodo, mengaku diduga dianiaya oleh ayahnya, Juni 2020. Dugaan tindak pidana itu lantaran diduga sang ayah memiliki hubungan asmara dengan perempuan lain.

Kala itu, Aurellia menemukan isi pesan singkat ayahnya dengan seorang perempuan. Rachmat berusaha merebut ponsel hingga berujung pada dugaan penganiayaan dan perusakan ponsel. Kemudian ibu Aurellia mengadukan perkara itu kepada Polsek Kelapa Gading atas dugaan kekerasan dalam rumah tangga. Kasus bergulir, Rachmat resmi menjadi tersangka.

Namun ia tak terima, lantas melaporkan anaknya ke polisi dengan alasan dugaan kekerasan dalam rumah tangga dan penganiayaan. Akhirnya Polres Metro Jakarta Utara menetapkan Aurellia sebagai tersangka. Kasus penganiayaan oleh Rachmat disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, sedangkan kasus Aurellia belum disidangkan.

Korban jadi Tersangka

Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti merespons perihal korban menjadi tersangka.

“Dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan (polisi) harus profesional dan didukung investigasi berbasis ilmiah agar hasilnya valid,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (14/10).

Tidak bisa kemudian digiring atau dipaksakan agar ada ‘keadilan’ karena dianggap sudah memproses kasus saling lapor dengan menjadikan kedua belah pihak sebagai tersangka.

Biro Pengawasan Penyidik dan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri perlu turun tangan memeriksa ketidakprofesionalan penyidik. Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan terjadi kesalahan prosedur yang menyebabkan kesalahan materi pemeriksaan. “Artinya ada hak dasar yang diperiksa yang dilanggar.

Hak atas keadilan (formal dan materiel), termasuk pembelaan dalam keterangannya sebagai saksi dan kemerdekaan status di mata hukum. Itu bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan pastinya (pelanggaran) hukum,” tutur dia ketika dihubungi Tirto, Kamis (14/10/2021).

Profesionalisme Polri harus ditunjang dengan sistem menyeluruh, mulai dari pendidikan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Teknisnya, lanjut dia, siapa yang mengawasi polisi ketika menjalankan tugas? Apakah si atasan? Jika masih ada dalam satu kepentingan dan instansi tentu sulit ada independensi dan objektif.

Di luar negeri, kata dia, ada kewenangan Kejaksaan dan Hakim Pemeriksaan Pendahuluan untuk memeriksa setiap tupoksi polisi. Mereka bertindak sebagai pengawas selama proses pelaksanaan. Sementara di Indonesia, lembaga tersebut tidak ada dan malah dibebankan kepada si terperiksa.

Jika tidak sepakat, maka dapat ambil langkah hukum, misalnya praperadilan, dengan konsekuensi butuh biaya besar, durasi panjang, risiko kalah karena bobroknya pengadilan.

“Padahal ada putusan Mahkamah Konstitusi tentang dominus litis atau Kewenangan Pengendali Perkara, di tangan kejaksaan. Tapi nyaris tidak berjalan,” terang Julius.

Sanksi yang tepat jika polisi tak profesional, maka bergantung pada level profesionalitas yang dilanggar. Jika hanya sebatas maladministrasi, maka sanksinya berupa teguran. Namun jika pelanggaran di level substansi dan hukum acara, maka selain berdampak kepada batalnya seluruh proses pemeriksaan, anggota polisinya juga harus dicopot atau dinonaktifkan dan dikembalikan pada pendidikan awal karena kesalahan fatal.

Ketidakprofesionalan penyidik bisa berulang karena dua hal, yakni tidak ada sistem pengawasan yang tepat dan ketat termasuk sanksi yang tidak memberikan efek jera dan pembelajaran; serta adanya impunitas terhadap kasus-kasus pelanggaran lain sehingga dijadikan preseden untuk kasus lain.

Presiden Jokowi menunjuk Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri. Ketika ia menjalani tes kepatutan calon orang nomor wahid di Korps Bhayangkara, di depan Komisi III DPR, ia menawarkan program Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan (Presisi). “Pelanggaran-pelanggaran prosedur dan substansi tersebut jelas bertentangan dengan komitmen ‘Presisi’,” kata Julius.

Sementara, presiden mesti mengevaluasi sistem koordinasi, pengawasan dan penindakan oleh Kapolri terhadap kasus-kasus seperti ini, serta harus ditargetkan dengan durasi tertentu agar ada peta jalan yang jelas. Kapolri juga bertanggung jawab dalam pelaksanaan ‘Presisi’, jangan sampai dianggap hanya jargon belaka atau bahkan tidak ditaati komandonya di level bawah, lantaran kerap terjadi pelanggaran.

Viralnya #PercumaLaporPolisi harus dijadikan momentum bagi Polri untuk berbenah diri dan evaluasi menyeluruh. Langkah awal paling penting, ujar Julius, yakni memperkuat kanal pengaduan komplain untuk masyarakat agar dapat mengetahui titik celah pelanggaran. “Jangan justru menutup diri apalagi menyerang publik dengan defamasi.”

Bukan Kasus Pertama Kali

Tahun 2018, Moh Irfan Bahri, santri Pondok Pesantren Darul Ulum, Madura, bersama sepupunya melintasi Flyover Summarecon Bekasi, sekitar tengah malam. Mereka hendak berswafoto di jembatan yang terkenal artistik itu. Sontak dua orang lain yang berkendara motor, datang sembari meminta ponselnya. Tak lupa mengancam mereka dengan celurit. Pelaku menyabetkan senjata tajam itu ke Irfan, tiga-empat kali.

Sadar menjadi sasaran, ia melawan balik. Ketika celurit lepas dari tangan pelaku, Irfan membacok balik si pelaku. Kemudian dua pelaku melarikan diri. Irfan dan sepupunya menyambangi klinik terdekat untuk berobat, lalu membuat laporan ke Polres Metro Bekasi Kota. Sementara dua pelaku menuju RS Anna Medika. Tapi nyawa Aric, salah satu pelaku, tidak tertolong karena mengalami pendarahan.

Irfan dan sepupunya sempat dijadikan tersangka oleh penyidik Polres Metro Bekasi Kota, namun berdasar keterangan ahli, yang dilakukan korban termasuk kategori bela paksa. Akhirnya polisi membebaskan pemuda tersebut.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto berpendapat, dalam kasus korban jadi tersangka, kepolisian lebih mengedepankan prosedur formal yang memang menjadi landasan penegakan hukum positif.

Secara prosedur memang dibenarkan, hanya saja apakah itu berpihak pada rasa keadilan sebenarnya atau tidak. Dalam kasus ibu pedagang yang dianiaya pemalak, Kombes Rachmat yang melaporkan anaknya, santri Madura yang melawan begal, antara pelaku dan korban memiliki celah untuk ditersangkakan.

“Tinggal bagaimana subjektifitas penyidik kepolisian melakukan pemberkasan, lebih mendahulukan korban atau tersangka?” ujar Bambang kepada reporter Tirto, Kamis (14/10/2021).

Mengapa subjektifitas itu bisa terjadi? Karena tidak ada sistem kontrol yang ketat dalam proses penyidikan tersebut. Seberapa banyak masyarakat yang melek hukum atau mendapat pendampingan hukum? Selain tak adanya pengawasan dan kontrol ketat yang tersistem, juga mentalitas anggota yang korup, sehingga lebih mendahulukan pihak yang dominan (meski salah) dibanding pihak yang lemah meski benar.

Secara prosedur, penetapan tersangka sesuai prosedur, juga memenuhi aspek legal formal. Maka dalam prosedur dan formalitas, penyidik tak bisa disalahkan. Tapi penetapan tersangka bisa menjadi salah karena prosedur formal yang lebih berpihak pada yang dominan itu tak menyentuh rasa keadilan publik.

“Kemudian muncul ‘delik viral’, diviralkan dahulu baru bertindak adil,” kata Bambang. Kejelian penyidik mengusut perkara memang subjektifitas personel kepolisian.

Sebaliknya, subjektifitas tanpa kontrol dan pengawasan yang ketat bisa memunculkan arogansi dan penyalahgunaan kekuasaan yang mencederai keadilan. Sehingga perlu dibuat sistem pengawasan dan kontrol yang ketat dalam proses penyidikan perkara.

Karena, imbuh Bambang, jarak ruang dan waktu dalam proses penyidikan memungkinkan penyidik ‘bermain-main’ dengan celah dan cenderung berpihak pada yang dominan. “Bila selama ini kasus-kasus seperti itu terulang dan terulang lagi, artinya Irwasum tidak bekerja membangun sistem yang lebih baik,” kata dia.

Perlindungan Korban Bagaimana mungkin ketika satu perkara, penyidik telah menetapkan tersangka tindak pidana tertentu, kemudian ada tindak pidana serupa dengan orang yang sama, lantas korban jadi pelaku dan pelaku jadi korban? “Itu ada ketidakprofesionalan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan,” kata Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi, kepada Tirto, Kamis (14/10/2021).

Jika polisi profesional harusnya satu berkas perkara itu cukup untuk menjelaskan peristiwa. Penyidik tak perlu mengutak-atik lagi kecuali ada bukti baru. Lantas ada kelemahan dalam proses penyelidikan dan penyidikan, yaitu tidak ada jaksa yang mendampingi sejak awal, artinya nihil yang mengarahkan dalam proses pengusutan.

Dalam kasus perempuan pedagang, misalnya, seharusnya polisi melindungi si korban. “Kalau sudah jadi korban, harusnya (korban) benar-benar dilindungi dari kemungkinan pelaporan balik.”

Tidak hanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang bisa melindungi LG, tapi semua komponen sistem peradilan pidana bisa ‘menyelamatkan’ korban.

(sumber: https://tirto.id/gkpz)


PELAKSANAAN PERKULIAHAN HYBRID/LURING SEMESTER GENAP 2021/2022

$
0
0

Diberitahukan kepada seluruh mahasiswa PS Sarjana Ilmu Hukum yang akan mengikuti perkuliahan hybrid (luring) pada semester Genap 2021/2022 bahwa:

  1. Pekan pertama (tanggal 7 – 11 Februari 2022) perkuliahan masih dilakukan secara daring, sedangkan perkuliahan hybrid (luring – daring) akan dimulai tanggal 14 Februari 2022.
  2. Terdapat beberapa kelas mata kuliah yang pada awalnya akan dilaksanakan secara hybrid (luring – daring), namun setelah dievaluasi ternyata pesertanya kurang dari 5 orang, maka mahasiswa pada kelas tersebut dialihkan ke kuliah daring pada kelas yang sama.

Pembekalan CPNS Analis Perkara Peradilan (Calon Hakim) Mahkamah Agung Republik Indonesia 2021

$
0
0

Halo teman teman FH UB sekalian, IKA UB mempersembahkan:

Pembekalan CPNS Analis Perkara Peradilan (Calon Hakim) Mahkamah Agung Republik Indonesia 2021

Dengan tema: Mewujudkan Peradilan yang Agung dan Modern melalui Analis Perkara Peradilan (Calon Hakim) 2021 yang Berintegritas

Minggu, 13 Februari 2022
Pukul 10.00 WIB

Pengantar:
-Dr. Muchamad Ali Safa’at, S.H.,M.H.
(Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Sambutan:
-Prof. Erani Ahmad Yustika, S.E., M.Sc., Ph.D.
(Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Brawijaya)

Pemateri:
-Bambang Hery Mulyono, S.H.,M.H.
(Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan MA RI)
-Dr. Maskur Hidayat, S.H., M.H.
(Wakil Ketua Pengadilan Negeri Pamekasan)
-Radhingga Dwi Setiana, S.H.
(Hakim Pengadilan Negeri Masamba)

Moderator:
-I Wayan Surya Hamijaya J, S.H.
CPNS APP MA RI 2021

Zoom Meeting: Link akan dibagikan di WA Grup Analisis Perkara Peradilan (Calon Hakim) MA RI Alumni FH UB 2021

Narahubung:
Juan: 0823 3151 0669
Valdo: 0877 2575 9164

Memutus Akar Masalah Kasus Jual Beli Kamar Lapas yang Berulang

$
0
0

Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Kemenkumham) kembali disorot soal jual-beli kamar di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Hal ini terungkap ketika salah satu warga binaan Lapas Cipinang berinisial WC bercerita bahwa dia harus menyetor uang demi mendapatkan kamar selama ditahan. Uang tersebut diperlukan demi napi bisa mendapat kamar.

“Nanti duitnya diserahkan ke sipir, di sini seperti itu. Kalau untuk tidur di kamar, antara Rp5 juta hingga Rp25 juta per bulan. Biasanya mereka yang dapat kamar itu bandar narkoba besar,” kata WC ketika dikonfirmasi di Jakarta, seperti dikutip Antara, 3 Februari 2022.

Kasus jual-beli kamar disebut sudah lama terjadi di Lapas Cipinang, bahkan menjadi sumber pemasukan petugas. Namun warga binaan enggan melapor karena khawatir masuk sel isolasi.

“Ya mau enggak mau kita harus bayar buat tidur. Minta duit ke keluarga di luar untuk dikirim ke sini. Kalau enggak punya duit ya susah. Makannya yang makmur di sini napi bandar narkoba,” kata WC.

Kalapas Klas I Cipinang Tony Nainggolan pun membantah kabar jual-beli kamar ini. Ia justru menegaskan napi tidak perlu mengeluarkan uang untuk menikmati fasilitas Lapas, termasuk tidur.

“Baru kemarin saya membuka program admisi orientasi (pengenalan lingkungan) dan saya sampaikan kalau di Lapas Cipinang tidak ada urusan yang berbayar, termasuk masalah tidur,” kata Tony.

Namun, Tony mengakui, bila Lapas Kelas I Cipinang saat ini kelebihan kapasitas. Dari seharusnya diisi 880 orang, kini diisi sebanyak 3.206 orang narapidana dari berbagai kasus. “Kalau benar ada praktik berbayar dilakukan pegawai atau narapidana, akan saya tindak tegas,” kata Tony.

Bukan Isu Baru

Masalah jual beli kamar di lapas memang bukan kali pertama ini terjadi. Kasus yang terungkap secara gamblang adalah kasus jual beli kamar lapas Sukamiskin pada Juli 2018 yang dilakukan Fahmi Darmawansyah, suami dari pesohor Inneke Koesherawati.

Kala itu, Fahmi memberikan uang Rp200 juta-Rp500 juta serta mobil Mitsubishi Triton dan tas mahal bermerk Louis Vuitton kepada eks Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husein dan istrinya demi mendapatkan sel mewah di Lapas Sukamiskin.

Fasilitas mewah itu terdiri atas water heater, AC, TV, spring bed hingga kamar mandi berkeramik. Semua fasilitas tersebut ada di kamar pria yang dihukum karena kasus korupsi proyek Bakamla itu.

Terakhir, Ia pun divonis di tingkat Peninjauan Kembali 1 tahun 6 bulan atau berkurang dari putusan tingkat kasasi yang mencapai 3 tahun 6 bulan. Putusan tersebut keluar pada Desember 2020. Aksi jual beli kamar lapas ini mendapat kritik dari Institute Criminal and Justice Reform (ICJR). Menurut ICJR, praktik jual beli kamar sudah berlangsung menahun dan berkaitan dengan kondisi buruk lapas dan rutan Indonesia saat ini.

“Kondisi penuh sesak rutan dan lapas membuat hak dasar misalnya tempat tidur yang layak pun menjadi dapat diperdagangkan. Situasi kelebihan kapasitas terus terjadi tanpa solusi konkret,” kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu, Minggu (6/2/2022).

Erasmus menunjukkan data bahwa jumlah tahanan dan napi di Indonesia per 30 Maret 2020 mencapai 270.721 orang dengan kapasitas total hanya 131.931 orang. Beban rutan/lapas saat itu mencapai 205 persen. Lantas pemerintah mengeluarkan kebijakan percepatan asimilasi di rumah, angka beban lapas sempat turun pada Agustus 2020 menjadi 175 persen. Mulai 2021 beban lapas kembali meningkat. Pada Juni 2021 terdapat beban 200 persen dengan jumlah 271.992 orang atau lebih banyak dari sebelum pandemi dan hingga Januari 2022, beban rutan dan lapas mencapai 223 persen.

Menurut ICJR, pemerintah sebenarnya punya banyak momentum membenahi soal overcrowding dalam 7 tahun terakhir. Hal tersebut seperti insiden kebakaran Lapas Kelas I Tangerang yang mengakibatkan 48 orang warga binaan meninggal dan sejumlah kasus lain. Langkah-langkah penyelesaian pun sudah direkomendasikan oleh ICJR.

Erasmus menilai, komitmen serius pemerintah bisa dilakukan demi mencegah beban rutan dan lapas kembali meningkat. Komitmen tersebut dapat diikuti dengan sejumlah langkah seperti mengkaji ulang penerapan UU Narkotika yang mengedepankan hukuman pidana dan penjara.

Di sisi lain, ada sejumlah langkah langsung demi menekan beban lapas. “Pertama, amnesti/grasi massal bagi pengguna narkotika untuk kepentingan sendiri yang terjerat UU Narkotika berbasis penilaian kesehatan, karena jumlah pengguna narkotika saat ini mencapai 103.081 orang,” terang Erasmus.

Kedua, kebijakan presiden serukan polisi dan jaksa tidak melakukan penahanan rutan untuk pengguna narkotika/tindak pidana ekspresi misalnya penghinaan. Alternatif penahanan non-rutan dapat digunakan seperti tahanan rumah dan kota. Pemerintah juga dapat mendorong penggunaan mekanisme jaminan yang sudah diatur dalam KUHAP.

Ketiga, untuk kasus penggunaan narkotika, yang tidak membutuhkan rehabilitasi medis di lembaga, maka presiden dapat menginstruksikan jaksa untuk menuntut dengan rehabilitasi rawat jalan, mendayagunakan peran puskesmas tanpa perlu memindahkan kelebihan beban rutan/lapas ke pusat rehabilitasi.

Keempat, masih untuk kasus penggunaan narkotika, presiden bisa meminta jaksa untuk menuntut menggunakan Pasal 14a dan c KUHP tentang pidana bersyarat dengan masa percobaan untuk pengguna narkotika, atau syarat rehabilitasi jalan ataupun inap berdasarkan kebutuhan.

Kelima, untuk tindak pidana paling banyak lainnya semisal pencurian dan penganiyaan (tidak untuk kekerasan seksual) dilakukan pendekatan penanganan kasus dengan pengarusutamaan peran korban (restoratif justice), dengan mengutamakan penggunaan ganti kerugian pada korban yang selaras dengan pertanggungjawaban pelaku, bisa dengan memperbanyak penggunaan Pasal 14c KUHP tentang pidana bersyarat berupa penggantian kerugian dengan masa percobaan.

Sementara itu, ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi mendorong agar ada pengusutan soal kasus jual-beli kamar lapas. Sebab, jual-beli kamar lapas seharusnya tidak terjadi.

“Memang saya sepakat harus diusut paling gak kalapasnya harus diperiksa, kalapas harus diperiksa kemudian termasuk pengawasannya harus diperiksa,” kata Fachrizal kepada reporter Tirto, Senin (7/2/2022).

Namun, kasus ini tidak akan selesai lewat penegakan hukum dan pengawasan pegawai. Ia mengingatkan kasus jual beli kamar lapas dan masalah lapas yang terjadi saat ini sudah tiap tahun muncul.

“Ini kan hampir tiap tahun ada berulang terus nggak selesai-selesai. Tahun lalu juga sama, sekarang ada lagi. Ini sampai kiamat akan begini terus,” kata Fachrizal.

Pendapat hingga kiamat yang disampaikan Fachrizal bukan tanpa alasan. Ia sepakat dengan pandangan sejumlah pihak bahwa kasus ini terjadi akibat overcrowding, tetapi pemerintah tidak kunjung menyelesaikan akar persoalannya, yaitu kekacauan sistem pidana Indonesia.

Ia mencontohkan kondisi Lapas Cipinang yang kini diisi 3.000 lebih napi, tetapi kapasitas hanya 800 lapas. Hal itu sendiri bertentangan dengan aturan internasional Nelson Mandela’s Rule bahwa harus ada standar dalam pelayanan di lapas dan negara wajib memastikan ketersediaan layanan dasar demi kebutuhan lapas.

Sebagai contoh, satu napi mendapat jatah uang makan Rp10-15 ribu atau 1 kamar diisi 2-3 orang. “Cuma masalahnya kenapa Mandela’s rule gak bisa diterapkan karena pemasyarakatan itu seolah-olah tidak bisa mengadang gempuran tahanan dan napi yang dikirim ke mereka oleh polisi dan jaksa,” kata Fachrizal.

Kepolisian dan jaksa kerap kali melempar tahanan atau napi ke rutan maupun lapas. Jikalau tidak bisa dijerat, aparat penegak hukum tidak tertutup kemungkinan akan mencari pasal yang membuat tahanan untuk masuk penjara. Oleh karena itu, solusi idealnya adalah pemerintah harus mengubah regulasi pemidanaan. Sebagai contoh, banyak napi saat ini adalah napi narkotika.

Pemerintah perlu mengedepankan konsep dekriminalisasi dalam revisi UU Narkotika. Kemudian, upaya penerapan restorative justice memang dikedepankan, tetapi juga perlu konsep dekriminalisasi secara terukur. Ia mencontohkan bagaimana dulu Mahkamah Agung berusaha mengatur soal pencurian barang yang dianggap ringan maupun berat, tetapi tidak ditindaklanjuti Kemenkumham.

Bagi Fachrizal, upaya penyelesaian secara sistemik adalah soal political will. Ia beralasan, upaya penataan regulasi masih di bawah kementerian yang sama, yakni Kemenkumham lewat Ditjen Perencanaan Perundang-undangan (Ditjen PP).

Ditjen PP harus bersinergi dengan Ditjen PAS soal penerapan hukuman agar tidak memicu overcrowding di lapas di masa depan. Sebagai contoh, kata Fachrizal, Ditjen PP dinilai mengedepankan hukum pemenjaraan lewat RKUHP padahal Ditjen PAS mengalami overcrowding karena banyak lapas mengalami kepenuhan kapasitas.

“Jadi jangan kemudian dia (Menkumham) pusing di Dirjen PAS kemudian sisi lain Dirjen PP bikin regulasi yang membuat peluang pidana-pidana baru. Itu sama dengan nguras lautan atau kayak misalkan ada dua orang di kolam. Satu berusaha ngeluarin air dari dalam kolam ke dalam bak yang satu lagi dalam bak masukin ke dalam kolam. Ini gak pernah surut,” kata Fachrizal.

Facrizal memandang Menkumham Yasonna harus menyinkronkan dengan mengajak Ditjen PP dan Ditjen PAS di bawahnya bersinergi dan membuat rancangan aturan yang tidak mengarah pada overcrowding lapas. Kemudian, kata dia, Yasonna harus melakukan pembahasan dengan DPR dan segera menggolkan aturan tersebut.

Menurut Fachrizal, hal itu harusnya bisa dilakukan dengan posisi Yasonna yang berhasil menggolkan sejumlah undang-undang dalam waktu singkat seperti UU Cipta Kerja maupun UU Ibu Kota Negara baru. “Apa yang gak bisa? Bisa toh. Menterinya partai berkuasa, dia punya power. Apa? Bikin KUHAP apa susahnya, RUU IKN, UU Cipta Kerja seminggu dua minggu selesai?” kata Fachrizal mempertanyakan.

“Harusnya (bisa masalah overcrowding selesai) kalau mau. Kuncinya di political will, kemauan politik dari kementerian. Ini kan sudah masalah politik karena sistemik. Mengubah sistem harus ada kemauan politik. Kalau case per case serahkan ke penegak hukum dan inspektorat pengawasan, tapi kalau sistemik begini harus ada kemauan politik, ada politik anggaran, ada politik sumber daya,” kata Fachrizal.

(Sumber: https://tirto.id/goFg)

Batal dan Tambah Mata Kuliah Semester Genap 2021/2022

$
0
0

Berdasarkan hasil evaluasi peserta mata kuliah, terdapat beberapa mata kuliah yang pesertanya kurang dari ketentuan batas minimalmaka untuk mata kuliah tersebut tidak dilaksanakan perkuliahan (dibatalkan fakultas). Bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah yang dibatalkan fakultas tersebut, dapat melakukan batal tambah atau penggantian mata kuliah dengan mata kuliah baru, disesuaikan dengan syarat pengambilan mata kuliah.

Mata kuliah yang dibatalkan oleh Fakultas
NO

MATA KULIAH

1 Hukum Administrasi Pengadaan Barang dan Jasa
2 Hukum Asuransi
3 Hukum HAM Internasional
4 Hukum Jasa Konstruksi
5 Hukum Kebencanaan
6 Hukum Kesehatan
7 Hukum Lingkungan Internasional
8 Hukum Maritim
9 Hukum Migrasi dan Pengungsi
10 Hukum Organisasi Kemasyarakatan dan Organisasi Politik
11 Hukum Pengangkutan
12 Hukum Perdata Internasional
13 Hukum Pidana Anak
14 Hukum Pidana Internasional
15 Hukum Tata Negara Darurat
16 Hukum Telematika
17 Hukum Wakaf
18 Kejahatan Mayantara
19 Pengantar Teori Hukum Administrasi Negara
20 Penologi
21 Praktik Peradilan Tata Usaha Negara
22 Sistem Perencanaan Pembangunan
23 Viktimologi

 

Selain alasan di atas, mahasiswa hanya dapat melakukan batal mata kuliah saja dan mata kuliah yang diajukan pembatalan bukan termasuk matakuliah pilihan konsentrasi.

Perubahan terhadap mata kuliah akibat dari proses batal tambah dapat di lihat pada siam.ub.ac.id setelah disetujui dan diproses oleh bagian akademik.


YOUTH ENTREPRENEUR BRAWIJAYA 2022

Tracer Studi Universitas Brawijaya

$
0
0

Yth. Alumni Universitas Brawijaya

Kami sampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada para alumni UB yang telah mengisi tracer study sesuai himbauan Rektor Universitas Brawijaya s.ub.ac.id/himbauantracer2021

Namun untuk kebutuhan analisis, sampai saat ini masih sangat diperlukan tambahan responden terutama lulusan tahun 2020. Untuk itu mohon bantuan dan kesediaan para alumni yang belum mengisi tracer studi untuk dapat meluangkan waktu sejenak untuk mengisi tracer studi melalui tracer.ub.ac.id/data

Atas perhatian dan kerjasamanya kami sampaikan terima kasih.

Tim Tracer Study Universitas Brawijaya

Tata Cara Pengisian Tracer Studi Universitas Brawijaya klik disini.

Kontak dan info lebih lanjut:
upkk.ub.ac.id
Direktorat Pengembangan Karir dan Alumni
Universitas Brawijaya

PENGAJUAN NILAI KONVERSI PKM TAHAP X

$
0
0
  1. Pengajuan konversi Tahap X dibuka pada tanggal 22 – 26 Februari 2022 pada pukul 08.00 – 16.00 WIB melalui link bit.ly/konversi-PKM
  2. Sebelum melakukan pengajuan wajib memahami terlebih dahulu panduan dan persyaratan untuk konversi nilai (https://hukum.ub.ac.id/pelaksanaan-kegiatan-konversi-pkm-mahasiswa-di-fakultas-hukum-universitas-brawijaya-2021/)
  3. Semua kegiatan yang diajukan harus disertai dengan form logbook
  4. Tuliskan semua kegiatan secara detail pada logbook (mulai dari persiapan hingga berakhir)
  5. Lakukan login pada google form dengan akun Universitas Brawijaya milik sendiri
  6. Pastikan semua data yang diisikan telah sesuai dan benar
  7. Bagi mahasiswa yang telah mengupload pengajuan konversi, harap melakukan pengecekan email secara berkala jika terdapat persyaratan yang perlu diperbaiki
  8. Link Pengajuan Konversi ini tidak berlaku untuk kegiatan yang telah didampingi oleh Dosen Pembimbing (PKL pengganti PKM, Gagasan Tertulis, KKNT, KKN Bangun Desa, KKN Gotong Royong, Moral Camp PMPK, dsb)

Webinar KANAL 2022 dengan tema “Putusan Inkonstitusional Bersyarat UU Cipta Kerja: Pertentangan Judicial Activism dan Judicial Restraint”

PENGAJUAN KONVERSI MBKM KE PKM

$
0
0

Bagi mahasiswa yang telah mengikuti program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) pada Semester Ganjil 2021-2022 dan akan melakukan konversi atas kegiatan tersebut menjadi mata kuliah PKM, berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Gunakan akun Universitas Brawijaya untuk melakukan pengajuan konversi.
  2. Pengajuan konversi kegiatan MBKM ke mata kuliah PKM melalui tautan berikut s.ub.ac.id/konversi-mbkm
  3. Melampirkan persyaratan pengajuan sebagai berikut:
    1. Laporan kegiatan MBKM dengan format dan ketentuan sebagaimana terlampir
    2. Logbook kegiatan MBKM dengan format dan ketentuan sebagaimana terlampir

Pengajuan konversi MBKM ke PKM dilaksanakan pada tanggal 1 – 20 Maret 2022 melalui tautan di atas.

Tautan pada laman ini hanya untuk mahasiswa yang akan mengkonversi MBKM menjadi PKM.   

Mengenal Hukuman Restitusi, Hak Anak di Bawah Umur jadi Korban Pemerkosaan

$
0
0

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung memvonis Herry Wirawan, guru cabuli 13 santriwatinya hukuman seumur hidup. Selain itu, Hakim juga mengganjar Herry dengan hukuman membayar restitusi biaya restitusi atau ganti terhadap para korban pemerkosaannya yang dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).

Apa itu hukuman restitusi?

Pakar hukum pidana dari Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi menjelaskan bahwa aturan restitusi yang dijatuhkan kepada Herry telah merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017.

“Ini khusus untuk korban anak, jadi korban tindak pidana yang korbannya anak bisa minta ganti kerugian atas kehilangan kekayaan tindak pidana atau perawatan medis maupun psikologis,” kata Fachrizal saat dihubungi merdeka.com, Rabu (16/2).

Menurutnya, aturan restitusi ini bertujuan agar korban yang khususnya anak-anak mendapatkan hak-hak atas kerugian pidana yang dialaminya. Karena, tak jarang, persoalan kekerasan maupun pelecehan kepada anak akan lebih fokus terhadap pelaku.

“Terus kan kalau pelaku dihukum. Nah negara juga harus punya tanggung jawab kepada korban untuk membantu ya,” katanya.

Sementara untuk korban selain anak, lanjut Fachrizal, aturan restitusi juga turut diatur dalam Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan bahwa Korban melalui LPSK berhak mengajukan hak restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana ke pengadilan.

“Jadi kompensasi korban, yang korbannya lain (bukan anak) itu ada di Undang-Undang di LPSK. Jadi korban itu bisa meminta ganti rugi atau restitusi kepada pelaku,” terangnya.

Singkatnya, Fachrizal menjelaskan perbedaan antara restitusi dengan ganti rugi tertitik pada pengurusan pengajuannya. Dimana restitusi seluruh prosesnya diurus negara. Sedangkan, ganti rugi diurus pribadi melalui mekanisme gugatan perdata.

“Jadi misalkan. Korban gugat Herry (pelaku pencabulan) itu bisa itu, misalkan restitusi tidak dipenuhi. Jadi sama-sama ganti rugi, tapi restitusi itu difasilitasi negara, jadi korban tidak perlu nuntut, apalagi itu kan perlu tenaga ya,” tuturnya.

Mekanisme Pengajuan Restitusi

Kemudian, Fachrizal menjelaskan jika proses pengajuan restitusi bisa dilakukan baik ketika di tahap penyidikan maupun ketika telah naik ke persidangan. Sebagaimana dalam Pasal 8 PERMA No. 3 Tahun 2017 Penggabungan tuntutan ganti rugi dalam perkara pidana mengacu pada ketentuan dalam KUHAP.

Dimana, Korban yang berhak ajukan restitusi yaitu, pelanggaran HAM berat, korban terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual dan penganiayaan berat menggunakan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban

Jika kasusnya khusus kepada korban anak-anak maka mekanisme pengajuan restitusi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.

Semisal dalam kasus Harry Wirawan jaksa penuntut umum meminta kepada majelis hakim agar mengabulkan adanya beban biaya restitusi kepada 12 anak korban sebesar Rp331.527.186.

“Jadi ada permohonannya mulai dari penyidikan, penuntutan. Kalau ini (kasus Harry) kan di persidangan jaksa yang minta dan kemudian dikabulkan hakim,” sebutnya.

Meski dalam putusanya, lanjut Fachrizal, Majelis Hakim mengambil langkah terobosan hukum baru dengan membebankan biaya restitusi kepada Kemen PPPA. Hal itu karena, Harry telah dijatuhi hukuman paling berat yakni seumur hidup.

“Karena kalau sudah ada hukuman pidana paling berat itu kan tidak bisa dibebani hukuman yang lain. Itulah kemudian hakim secara progresif, dalam tanda kutip kreatif. Itu membebankannya kepada Kementerian PPPA ya,” jelasnya.

Fachrizal menilai jika keputusan hakim membebankan biaya restitusi kepada Kemen PPPA, harus segera disikapi pemerintah untuk membuat aturan persoalan restitusi lebih rinci.

Salah satunya, membuat aturan untuk victim trust fund atau dana perwakilan korban yang sudah mulai diterapkan di luar negeri. Untuk bagaimana, negara menyiapkan skema bantuan kepada korban. Karena sesuai Pasal 67 KUHP, terpidana mati atau terpidana seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pidana lain.

Hukum Restitusi Herry Wirawan

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung memutuskan biaya restitusi atau ganti terhadap para korban pemerkosaan Herry Wirawan dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).

Majelis hakim berpendapat Herry Wirawan tidak dapat dibebani hukuman membayar restitusi karena divonis hukuman seumur hidup. Berdasarkan Pasal 67 KUHP, terpidana mati atau terpidana seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pidana lain.

“Sehingga total keseluruhan restitusi 12 orang anak korban berjumlah Rp331.527.186,” kata Ketua Majelis Hakim Yohanes Purnomo di PN Bandung, Jawa Barat, Selasa (15/2).

Majelis hakim menyebut undang-undang belum mengatur kepada siapa restitusi bakal dibebankan, apabila pelaku berhalangan untuk membayar restitusi dan telah dijatuhi hukuman berar selama seumur hidup.

Sehingga, hakim menyatakan restitusi sebesar Rp331 juta itu merupakan tugas negara. Dalam hal ini, hakim menyebut KPPPA memiliki tugas untuk melindungi para anak korban.

“Rp331 juta dibebankan kepada KPPPA, apabila tidak tersedia anggaran tersebut, maka akan dianggarkan dalam tahun berikutnya,” kata hakim. [rhm]

(Repost from source: https://tirto.id/vonis-pengadilan-bagi-pemerintah-lalai-wajib-ditaati-gpaL)

 

Vonis Pengadilan bagi Pemerintah Lalai: Wajib Ditaati

$
0
0

Menggugat pemerintah ke ranah hukum menjadi salah satu cara yang bisa dilakukan warga bila pejabat lalai dalam menjalankan tugasnya. Gugatan warga negara atau citizen law suit ini dapat menjadi model menyelesaikan permasalahan atas dasar kesalahan yang dilakukan penyelenggara negara dalam memenuhi hak-hak warganya.

Citizen law suit yang dimenangkan warga pun sering terjadi. Misalnya, pada 16 Juli 2019, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Nomor 3555 K/PDT/2018 yang diajukan Presiden Republik Indonesia dan jajarannya dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah.

Keputusan itu menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi Palangka Raya Nomor 36/PDT/2017/PT PLK tertanggal 19 September 2017 juncto Putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya Nomor 118/Pdt.G/ LH/2016/PN Plk teranggal 22 Maret 2017.

“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: Negara Republik Indonesia Presiden Republik Indonesia cq Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia cq Gubernur Kalimantan Tengah, Pemohon Kasasi II: Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Pemohon Kasasi III: Pemerintah Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Menteri Pertanian Republik Indonesia, Pemohon Kasasi IV: Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Menteri Kesehatan Republik Indonesia,” begitu bunyi putusan tersebut.

Salah satu tim penggugat, Arie Rompas mengatakan, salah satu kewajiban yang harus segera dieksekusi pemerintah adalah mengumumkan perusahaan-perusahaan yang melakukan pembakaran hutan. Dalam tuntutan tersebut pemerintah juga wajib mengumumkan korporasi yang pernah terlibat dalam kebakaran hutan hebat di Kalimantan pada 2015; serta yang perlu segera dilaksanakan adalah pembangunan rumah sakit paru di Kalimantan Tengah.

Tiga tahun kemudian, warga juga membuktikan bisa menang melawan pemerintah. Pada 15 Februari 2022, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta memvonis Gubernur DKI Jakarta untuk mengeruk Kali Mampang secara tuntas sampai ke wilayah Pondok Jaya dan memproses pembangunan turap sungai di kelurahan Pela Mampang. Perkara bernomor 205/G/TF/2021/PTUN.JKT dimenangkan rakyat.

Apakah presiden dan jajarannya telah menjalankan putusan hakim? Pun apakah orang nomor satu di Ibu Kota bakal tunduk kepada putusan pengadilan?

Kesadaran Diri Pemerintah

Dosen Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia (UI) Dian Puji Simatupang berpendapat pejabat dan badan pemerintahan harus taat kepada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

“Jadi, soal efektivitas ini menjadi penting karena badan dan pejabat pemerintahan tidak merasa wajib menaati apabila ada kerugian diri atau lembaga di dalamnya,” kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (18/2/2022).

“Dalam hal ini diperlukan mekanisme yang jelas kepada pejabat atau badan yang tidak menaati putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap harus membayar denda dan/atau bunganya,” sambung Dian. Putusan-putusan pengadilan tersebut tidak kedaluwarsa, artinya terhukum harus melaksanakan vonis.

Dua kasus itu terjadi ketika Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia dan Anies Baswedan menduduki kursi Gubernur DKI Jakarta. Jika dua orang itu lengser dari jabatannya, apakah putusan gugur begitu saja? Dian menyatakan tidak.

“(Putusan) tetap. Karena bukan pribadi, tapi jabatan yang dituntut, bukan pribadinya. Harus tetap dan dapat ditagih ke negara/badan atau pejabat pemerintahan,” kata Dian.

Bila negara, badan atau pejabat tak menjalani vonis, maka sanksinya hanya disampaikan ke atasannya. Memang upaya itu tidak efektif. Sehingga cara terbaik adalah Mahkamah Agung berani membuat peraturan ‘jika tidak mematuhi putusan pengadilan dikenakan denda dan/atau bunganya’, seperti kewajiban pajak.

“Namun Mahkamah Agung berani atau tidak? Kalau begini terus, tak ada cara memaksa negara. Padahal dalam konsep check and balance, ketika suatu kekuasaan salah, yang satu menyeimbangkan dan mengoreksi,” imbuh Dian.

Meski taat kepada putusan adalah keharusan, menilik dari rekam jejak sengketa di negara ini, jarang pemerintah taat kepada putusan pengadilan. Contoh, 5 Oktober 2016, Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 99 PK/TUN/2016 yang mengabulkan gugatan petani Kendeng dan mencabut Izin Lingkungan Pembangunan dan Pertambangan Pabrik PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang.

Selanjutnya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyatakan pihaknya mematuhi putusan tersebut, namun pada 23 Februari, ia mengeluarkan izin pembangunan baru dengan sedikit perubahan wilayah. Padahal pemerintah kudu tunduk kepada putusan hakim.

“Wajib. Putusan pengadilan wajib ditaati oleh pejabat negara,” tutur Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi, kepada reporter Tirto, Jumat (18/2/2022).

Sayangnya, bukannya patuh kepada putusan hakim, malah yang dilakukan pemerintah adalah bikin izin baru. Pemerintah mengakali rakyat. Bila mengikuti konsep negara hukum yang diakui dalam Undang-Undang Dasar, pemerintah Indonesia bermasalah. Masih dalam konsep rechtsstaat, kewenangan yudikatif mengontrol jika ada sengketa antarwarga negara dan negara di Pengadilan Tata Usaha Negara.

“Saluran dan putusannya ada, tapi kenapa pemerintah abai dan cenderung tidak menjalankan? Lagi-lagi karena kemauan politik (yang rendah),” terang Fachrizal.

Sistem presidensial di Indonesia cenderung ‘penuh kekuatan’ terhadap putusan pengadilan. Kekuatan eksekutorial tidak diatur secara eksplisit, yakni tidak ada regulasi perihal sanksi bagi pemerintah atau pejabat yang tidak melaksanakan putusan.

Bahkan peraturan soal sanksi bagi eksekutif yang bandel tak taat putusan pun tak perlu dibikin, sebab lembaga yudikatif telah memutus dan sewajarnya pihak eksekutif mematuhi putusan. “Ini mencerminkan Indonesia belum penuh menjalankan prinsip negara hukum,” ucap dia.

Salah satu prinsip yang diatur dalam konstitusi yakni jaminan pembatasan kekuasaan agar melindungi warga negara dari perilaku sewenang-wenang yang dilakukan negara.

Biasanya prinsip tersebut jarang dilakukan oleh pemerintah otoritarian dengan alasan ‘negara tak ingin dibatasi dan tidak acuh dengan pembatasan’. “Itu yang dikhawatirkan. Kalau melihat pemerintah (Indonesia) abai dengan putusan-putusan pengadilan, itu menunjukkan masih mengikuti konsep negara kekuasaan,” jelas Fachrizal.

Kritis, Bukan Dosa Warga

Aktivisme warga dalam berdemokrasi, kata Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Adinda Tenriangke Muchtar, harus diapresiasi. Apalagi warga mengkritisi kebijakan negara, itu merupakan bentuk demokrasi. Efektifkah rakyat gugat pemerintah?

Adinda menilai dalam kasus presiden dan jajarannya, masih menggantung. Penerbitan peraturan pelaksana dengan melibatkan rakyat jadi salah satu tuntutan, tapi belum direalisasikan pemerintah.

“Dalam undang-undang, perencanaan pembangunan nasional atau regulasi terkait, sebenarnya sudah mengatur partisipasi publik dalam proses kebijakan. Apakah dalam realitasnya hal tersebut dilakukan?” tutur dia.

Mengakomodasikan keikutsertaan warga itu telah ada aturan hukumnya dan dinilai bisa mengurangi permasalahan dalam proses pembuatan kebijakan ke depannya. Problem lainnya adalah tuntutan warga terhadap pemerintah memerlukan waktu. Tuntutan warga pun masuk akal sebab mereka meminta negara mengatasi perkara yang terkait kebijakan pula.

“Putusan-putusan pengadilan, termasuk hingga tingkat Mahkamah Agung, adalah hal yang relevan, harus dipatuhi dan ditindaklanjuti (oleh pemerintah) dengan saksama,” sambung Adinda.

Masalah klasik jika suatu kebijakan mandek dengan dalih nihil regulasi pelaksana. Dalam kasus seperti ini, ada atau tidak peraturan pelaksana, pemerintah menjalankan tanggung jawabnya lantaran komitmen itu sebagai mandat undang-undang. Perihal kasus pengerukan kali pun juga begitu, Gubernur DKI harus mematuhi putusan pengadilan.

Kepala pemerintahan harus menindaklanjuti putusan karena yang diminta adalah masuk akal, terlepas ada faktor alam yang berperan dalam masalah-masalah lingkungan. Ketika pemerintah menunda menjalankan putusan, Adinda menyatakan problem serupa bisa kerap meroda. Ada yang salah bila pemerintah mengabaikan gugatan perwakilan kelompok atau gugatan warga negara terhadap negara.

“Tuntutan sangat relevan karena ada korban, ada data, dan pihak yang mengajukan tuntutan (rakyat) memberikan data dan fakta dari kajian yang dapat dipercaya,” ucap dia.

Kasus-kasus tersebut bisa menjadi refleksi dan masukan yang baik agar para pejabat memperbaiki fungsinya dalam kepemerintahan.

(Source: https://tirto.id/gpaL )

Penerapan Konsep Jus Ad Bellum dalam Penggunaan Kekuatan Bersenjata RUSIA di UKRAINA

$
0
0

Apakah keputusan untuk berperang dapat dipertahankan dan dijustifikasi secara moral? Pertanyaan tersebut tepat untuk dianalisa khususnya dalam konflik Rusia dan Ukraina yang telah menjadi perhatian seluruh dunia hampir sebulan ini. Puncak konflik dimulai pada 16 Februari 2022 dimana Parlemen Rusia mengadopsi sebuah resolusi yang meminta Presiden Vladimir Putin untuk mengakui sebagai negara merdeka dua wilayah di timur Ukraina yaitu Donetsk dan Luhansk. Keduanya dikuasai oleh kelompok bersenjata yang didukung Rusia. Pada 21 Februari, Presiden Putin menandatangani dua dekrit yang mengakui kemerdekaan kedua wilayah tersebut dan menyerahkannya ke parlemen untuk diratifikasi. Setelah itu, ia mengeluarkan perintah kepada angkatan bersenjata Rusia, yang selama berbulan-bulan telah berkumpul di perbatasan dengan Ukraina, untuk melakukan operasi penjaga perdamaian (yang disebutkan untuk menghormati Perjanjian Minsk setelah aneksasi Crimea) di Donetsk dan Luhansk yang diproklamirkan sendiri. Pada 22 Februari, Dewan Federasi, majelis tinggi parlemen Rusia, menyetujui permintaan Putin untuk mengerahkan angkatan bersenjata. Rusia menyerang pada 24 Februari, yang dimulai dengan ledakan di sejumlah kota di Ukraina, termasuk Kyiv, Odessa, Kharkiv dan Mariupol. Hingga saat ini ketegangan masih berlangsung.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam menyikapi dan menilai keabsahan dan legitimasi sebuah intervensi (use of force) adalah Just War Theory, yang menawarkan kerangka untuk menjawab permasalahan-permasalahan moral berkaitan dengan penggunaan kekuatan bersenjata dalam hubungan internasional. Just War Theory merupakan sebutan bagi berbagai literatur yang berbicara mengenai moralitas perang dan menawarkan kriteria yang dipakai dalam menentukan apakah keputusan untuk berperang dan cara yang digunakan dalam pelaksanaannya dapat dinilai adil dan benar. Kriteria dibagi menjadi dua kelompok yaitu jus ad bellum dan jus in bello. Jus ad bellum berkaitan dengan kapan keputusan untuk berperang dianggap benar (the justice of resort to war) sementara jus in bello terkait bagaimana sebuah perang harus dilakukan manakala telah mulai (the justice of the conduct of war). Tulisan ini fokus pada kriteria pertama dalam konflik bersenjata internasional yang terjadi antara Rusia dan Ukraina saat ini.

Setidaknya terhadap 6 kriteria jus ad bellum yaitu dinyatakan oleh otoritas yang beanr (right authority), ada alasan yang adil (just cause), merupakan upaya terakhir (situation of last resort), memiliki niat yang benar (right intention), cara yang digunakan bersifat proporsional (principle of proportionality) dan memiliki peluang keberhasilan yang masuk akal (reasonable prospect of success). Berikut analisa kriteria tersebut dalam kasus Rusia.

Pertama, otoritas yang benar. Kriteria ini menegaskan bahwa hanya otoritas yang sah yang memiliki hak untuk menyatakan perang. Kriteria ini melahirkan banyak perdebatan khususnya berkaitan dengan pertanyaan siapakah yang berwenang untuk menyatakan sebuah perang itu benar (legal) atau dapat dibenarkan (legitimate). Apakah dari negara yang menyatakan perang atau dari komunitas internasional. Dalam hukum internasional, khususnya Piagam PBB, setiap negara dilarang untuk menggunakan kekuatan bersenjata terhadap negara lain. Pasal 2 (4) menyatakan bahwa semua anggota harus menahan diri dalam hubungan internasional mereka dari ancaman atau penggunaan kekuatan yang bertentangan dengan integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara, atau dengan cara lain apa pun tidak sesuai dengan tujuan PBB. Pasal tersebut dikenal dengan prinsip non-intervention atau prohibition of use of force. Larangan tersebut umumnya dianggap sebagai bagian dari norma yang memiliki status sebagai jus cogens.

Meskipun demikian, sesungguhkan masih terdapat ruang untuk melakukan intervensi yaitu dengan persetujuan DK PBB. Berdasarkan Bab 7 khususnya pasal 39, DK PBB memiliki kewewenangan untuk mengizinkan penggunaan kekuatan di bawah Piagam PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. DK PBB terlebih dahulu akan menentukan apakah ada ancaman terhadap perdamaian di sebuah wilayah. Dalam situasi di Ukraina, sesungguhnya opsi ini tidak realistis karena Rusia sendiri memiliki kursi tetap di DK PBB dengan memegang hak veto atas keputusan apa pun. Dalam hal ini, Rusia menyatakan bahwa dasar hukum “operasi penjaga perdamaian” telah dikomunikasikan pada 24 Februari 2022 kepada Sekretaris Jenderal PBB dan DK PBB oleh Wakil Tetap Federasi Rusia untuk PBB dalam bentuk pemberitahuan berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB (diedarkan sebagai dokumen S/2022/154 Dewan Keamanan). Pada gilirannya, DK memilih suara 11-1 untuk mengutuk tindakan Rusia, dengan China, India dan Uni Emirat Arab abstain. Veto Rusia tersebut mematikan resolusi yang diusulkan. Namun tetap saja hal tersebut menandakan bahwa DK PBB belum mengizinkan Rusia untuk menggunakan kekuatan terhadap Ukraina.

Kedua, penyebab atau ada alasan yang adil dan benar. Dalam Piagam PBB, pengunaan kekuatan bersenjata hanya dapat dibenarkan dalam dua kondisi yaitu jika diizinkan oleh DK PBB (pasal 42), atau ketika suatu negara bertindak dalam rangka membela diri atau self defence (pasal 51). Seperti penjelasan dibagian sebelumnya, kondisi pertama telah gagal. Mengenai kondisi kedua, hak membela diri hanya muncul setelah serangan bersenjata telah diluncurkan. Dengan standar ini, klaim Rusia gagal, karena tidak ada bukti bahwa operasi militer NATO yang direncanakan telah dimulai pada saat pasukan Rusia memulai serangan mereka. Memang ada pendekatan pertahanan diri yang lebih tradisional yang memungkinkan dilakukannya tindakan defensif secara paksa dalam menghadapi serangan bersenjata yang sifatnya “segera” yaitu anticipatory self defence. Dalam hal ini, musuh harus berada di gerbang perbatasan dalam arti yang nyata. “Indikasi dan peringatan” harus telah ada. Oleh karena itu, harus ada serangan bersenjata yang telah dimulai atau akan segera terjadi, dan kekuatan yang digunakan untuk membela diri tersebut harus menjadi satu-satunya cara untuk mencegah atau menolaknya. Tetapi sekali lagi, belum terlihat ada indikasi bahwa NATO telah memutuskan untuk menyerang Rusia dalam waktu singkat dan segera. Rusia tidak mengalami serangan bersenjata dari Ukraina ataupun negara mana sehingga alasan hak bela diri sebagaimana pasal 51 tidak mendasar. Sementara argumentasi collective self- defence juga gugur karena kedua wilayah (Donetsk dan Luhansk) tidak memenuhi kualifikasi negara layaknya subjek hukum internasional pada umumnya. Baik kehadiran NATO di Ukraina maupun pembenaran lain yang ditawarkan oleh Rusia tidak memenuhi kriteria alasan yang sah.

Selain itu, hak bela diri Rusia dikaitkan dengan pasal 1 Piagam PBB yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination) rakyat Donetsk dan Luhansk. Rusia secara efektif telah melakukan intervensi dan melanggar kedaulatan Ukraina sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Piagam PBB. Oleh karena Donetsk dan Luhansk adalah bagian dari Ukraina, pengakuan semacam itu oleh negara lain merupakan intervensi atau campur tangan dalam masalah internal suatu Negara, yang bertentangan langsung dengan prinsip kedaulatan (sovereignty) yang sama bagi semua negara.

Masih dalam kriteria ini, bahwa menyelamatkan warga negara yang terjebak atau dalam bahaya di negara lain sesungguhnya dapat diakui sebagai bentuk pembelaan diri. Tapi intervensi ini sangat terbatas untuk mengevakuasi warga, bukan menggulingkan sebuah pemerintah. Tidak ada yang telah dilakukan Ukraina hingga saat ini yang dapat ditafsirkan sebagai serangan bersenjata terhadap Rusia dan membenarkan klaim Rusia untuk membela diri.

Memang, ada satu lagi pengecualian penggunaan kekuatan bersenjata yang tengah berkembang (illegal but legitimate) dan lahir dari sebuah doktrin. Pengecualian dengan kekerasan tersebut memang tidak dilakukan berdasarkan Piagam PBB tetapi atas dasar pertimbangan moral dan praktik negara yang berkembang. Praktek ini dikenal dengan istilah intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention), yang konsepnya telah berkembang menjadi tanggung jawab untuk melindungi (Responsibility to Protect). Dalam kondisi tersebut, harus dapat dibuktikan bahwa ada kejahatan yang sangat serius yang akan atau telah terjadi, seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, pembersihan etnis, dan diskriminasi ras. Dalam hal ini, Rusia tidak pernah menggunakan istilah humanitarian intervention, melainkan hak bela diri. Namun agar dianggap sah, intervensi tersebut tetap memerlukan ijin dari DK PBB.

Ketiga, niat yang benar. Dalam perang, tidak hanya penyebabnya harus adil, tetapi ada dorongan kuat bahwa suatu negara yang melakukan perang harus melakukannya untuk tujuan keadilan dan bukan untuk alasan atau kepentingan pribadi. Selain itu, tujuannya bukan untuk mengambil wilayah territorial ataupun mempengaruhi apalagi mempertanyakan kemerdekaan politik negara lain melainkan harus bertujuan mencegah dan menghentikan pelanggaran HAM berat. Rusia mengklaim niatnya adalah untuk mencegah genosida di Ukraina. Namun argumentasi tersebut tidak terbukti. Bahkan, Mahkamah internasional (ICJ) telah memerintahkan Rusia untuk menghentikan invasi ke Ukraina. Dalam hal ini, Mahkamah menyatakan tidak memiliki bukti yang mendukung tuduhan Rusia tentang genosida di wilayah Ukraina. Bahkan, Rusia memperlihatkan usaha mengambil wilayah territorial serta mempengaruhi kemerdekaan politik Ukriana dengan memproklamirkan kemerdekaan Donetsk dan Luhansk secara sepihak.

Keempat, upaya terakhir. Kriteria ini berhubungan erat dengan menghadirkan alasan yang adil bahwa semua bentuk solusi lain harus telah dicoba sebelum adanya deklarasi perang. Setiap pilihan dengan cara damai (non-militer) harus telah dilakukan terlebih dahulu. Artinya negara dapat menggunakan perang sebagai alternatif penyelesaian sengketa hanya jika itu adalah alternatif terakhir yang dianggap layak. Hal ini memang menjadi salah satu persoalan utama dimana menurut Rusia, selama 30 tahun mereka dengan gigih dan sabar berusaha mencapai kesepakatan dengan negara-negara NATO tentang prinsip-prinsip keamanan yang setara dan tak terpisahkan di Eropa. Bahkan, pada bulan Desember 2021, usaha untuk memastikan keamanan di Eropa dan tentang non-ekspansi NATO masih coba dilakukan. Hanya saja, posisi yang tidak berubah dari Amerika dan sekutu tersebut tidak dapat menjustifikasi perang. Berbagai upaya damai, baik yang sifatnya non-litigasi maupun litigasi hendaknya terus menjadi pilihan.

Di level internasional, umumnya sebelum terjadi perang atau intervensi, DK PBB mengeluarkan berbagai resolusi, berdasarkan Bab VII Piagam PBB untuk menanggapi kekerasan yang terus meningkat di suatu wilayah. Termasuk menyatakan pemberlakuan embargo militer, mengakui bahwa situasinya merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional dan memaksa untuk melakukan genjatan senjata, ataupun menekankan bahwa perlu upaya pencegahan terhadap terjadinya kejahatan kemanusiaan di wilayah tersebut. Dalam hal ini tidak ada resolusi yang dikeluarkan sebelum invasi. Dan pasca invasi, terdapat sebuah rancangan resolusi yang menyesalkan invasi yang terjadi. Seruan penarikan pasukan Rusia diveto pada hari berikutnya, yang mendorong DK PBB untuk menyetujui sesi khusus darurat tentang masalah Ukraina melalui Resolusi DK PBB 2623.

Kelima, prospek yang layak dimana sebelum perang, negara harus yakin bahwa penggunaan kekuataan bersenjata akan menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada kerugian. Skala, jangka waktu dan intensitas intervensi yang direncanakan harus sebanding dengan perlindungan kemanusiaan. Prinsip keberhasilan yang wajar adalah sebuah konsekuensi karena biaya dan manfaat kampanye harus diperhitungkan. Dengan kata lain, harus ada kemungkinan logis bahwa intervensinya akan berhasil mencegah atau menghilangkan pelanggaran HAM. Sehingga, harus besar kemungkinan bahwa keadaan akan jauh lebih baik dan bukan memperparah keadaan.

Keenam, prinsip proporsionalitas. Kriteria terakhir jus ad bellum ini adalah bahwa tujuan yang diinginkan harus sebanding dengan sarana yang digunakan. Asas ini memang agaknya tumpang tindih dengan pedoman moral tentang bagaimana perang harus dilancarkan, yaitu asas jus in bello. Berkenaan dengan alasan yang adil, kebijakan perang membutuhkan tujuan, dan tujuan itu harus proporsional dengan prinsip-prinsip lain dari tujuan yang adil.

Prinsip proporsionalitas dan prospek kesuksesan yang layak dan masuk akal tersebut merupakan dua syarat yang tidak mudah untuk diukur. Rusia mengklaim bahwa tindakannya sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Genewa 1949, meskipun ada yang berargumen bahwa Rusia telah menghancurkan pusat stasiun radio dan televisi dan fasilitas lainnya. Bahkan, pakar medis dan pembela HAM mengutuk dengan keras laporan pemboman Rusia terhadap bangsal bersalin rumah sakit dan klinik anak-anak karena jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum humaniter internasional. Persyaratan prospek untuk sukses sepenuhnya tergantung kemauan politik dari negara yang akan mengintervensi. Seperti dalam kasus Rwanda dan Srebrenica, dimana DK PBB dianggap gagal untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, karena tidak ada kemauan politik.

Berdasarkan fakta dan analisa diatas, agaknya tidak sulit untuk mengatakan bahwa penyerangan Rusia di Ukraina tidak memenuhi kriteria jus ad bellum yang dapat menjustifikasi alasan Rusia berperang. Baik alasan hak bela diri maupun alasan mendapatkan otorisasi dari DK PBB yang diatur dalam hukum internasional tidak mampu dibuktikan. Memang, terdapat sejumlah pelanggaran hukum internasional serupa sebelumnya yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutu. Pelanggaran tersebut agaknya membuat Amerika Serikat dan sekutu lebih sulit untuk mengkritik Rusia dengan cara persuasif, karena bagaimanapun juga, merekapun pernah bertindak sepihak dan melanggar prinsip-prinsip dalam Piagam PBB seperti non-intervention. Duniapun tidak akan lupa terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut. Namun, dalam melihat semua konflik yang pernah terjadi, termasuk yang terjadi saat ini antara Rusia dan Ukraina, substansi moral dalam perang tetap perlu mendapatkan perhatian. Artinya, kita tidak boleh lupa terhadap semua pelanggaran hukum internasional yang pernah dilakukan negara-negara Barat, namun Rusia tetap tidak dapat membenarkan pelanggaran hukum mereka sendiri. Ibaratnya, jika negara A menggunakan kekuatan bersenjata dan melanggar kedaulatan negara B dan lolos tanpa hukuman, hal tersebut tidak membenarkan negara C untuk melakukan hal yang sama terhadap negara D. Sekali lagi, jika negara-negara anggota NATO pernah melanggar Pasal 2(4) Piagam PBB seperti ketika mereka mengebom Serbia pada tahun 1999, hal tersebut tidak membenarkan pemboman Rusia di Ukraina saat ini. Pelanggaran hukum internasional masa lalu dan masa kini tentu akan kembali digunakan sebagai preseden untuk mempersenjatai argumentasi terhadap pelanggaran yang dapat terjadi di masa mendatang.

 

Anak Agung Ayu Nanda Saraswati
Dosen Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Viewing all 1337 articles
Browse latest View live


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>